Bacaini.id, JAKARTA – Pemerintah Republik Indonesia melalui Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengembalikan sebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Pengubahan nama KKB menjadi OPM dimulai dari terbitnya surat telegram Panglima TNI tertanggal 5 April 2024. Terminologi OPM diketahui sebutan lama yang merujuk kepada gerakan separatis bersenjata di Papua.
Pengembalian sebutan OPM adalah early warning (peringatan dini). Mereka bukan lagi kelompok kriminal bersenjata atau teroris, melainkan sudah setara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) atau RMS (Republik Maluku Selatan).
Apa konsekuensinya? Berlakunya operasi militer seperti halnya pemerintah menerapkan Operasi Seroja di Aceh. Artinya tidak berlaku lagi penegakan hukum pidana sebagaimana pelaku kriminal.
Analis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melihat pemberlakuan operasi militer kepada gerakan OPM memang diperlukan. Hal itu mengingat eskalasi konflik Papua yang terus meninggi.
Operasi militer dinilai bentuk syok terapi pemerintah Indonesia terhadap OPM sembari mempersiapkan dialog Papua jilid II. Sebab dialog perdamaian yang ditawarkan berkali-kali, telah ditolak.
Yang sudah terjadi selama ini OPM menjawab tawaran dialog perdamaian itu dengan berondongan tembakan, aksi penculikan dan mutilasi.
“Pihak Indonesia tidak bisa tinggal diam untuk tidak melakukan shock therapy (terapi kejut). Mungkin harus melakukan operasi militer dulu,” ujar Syafuan Rozi Peneliti Pusat Riset Politik BRIN kepada Bacaini.id Senin (22/4/2024).
Konflik di Papua diketahui sudah berlangsung lama dan tidak kunjung selesai. Bahkan dengan pelekatan nama KKB (sebelumnya OPM), yakni dengan penanganan di kepolisian, eskalasi konflik justru semakin tinggi.
Sepak terjang yang dilakukan OPM bukan lagi skala gangguan keamanan dan teror, melainkan lebih tinggi. Mereka juga tidak berhenti mempengaruhi opini publik, khususnya internasional.
Sejumlah platform media sosial diketahui dipakai OPM untuk memamerkan aksi kekejaman, yakni penembakan, mutilasi serta menyandera pilot dengan tuntutan kemerdekaan.
“Mirip kelompok di Aceh masa lalu. Separatis yang mencoba menekan emosi satu negara yang berdaulat,” terang Syafuan.
Analis BRIN melihat operasi militer merupakan salah satu cara yang harus dimasuki dulu untuk kemudian masuk ke dalam dialog Papua Jilid II. Ibarat mendaki gunung di mana ketika hendak mencapai puncak ada batu yang menghalangi.
Batu penghalang itu harus dipaksa digeser. Menurut Syafuan keberadaan gerakan OPM saat ini sudah serupa kelompok Hamas. Mereka memiliki senjata dan logistik.
Juga secara terbuka memperlihatkan bagaimana bisa menembak, menculik dan mengambil peralatan. OPM merasa yakin dengan kekuatan militer yang dimiliki.
Karenanya jika cara damai sudah tidak bisa lagi dilakukan, kata Syafuan solusinya adalah operasi militer. Perang atau pertempuran dalam operasi militer, kata Syafuan bertujuan membawa mereka ke meja perundingan yang selama ini ditolak.
Jika OPM sudah tidak memiliki cara lagi bertempur, maka meja perundingan akan menjadi solusi satu-satunya. Pada saat operasi militer berlangsung, banyak tuntutan yang bisa ditawarkan.
“Supaya OPM ini juga merasakan pertempuran. Saya bayangkan operasi militernya juga terukur. Indonesia sebelumnya juga punya pengalaman di Timor leste,” jelasnya. (Bersambung)
Penulis: Danny Wibisono
Editor: Solichan Arif