Membangun komunikasi dengan nyethe, menurut Joni, adalah pintu masuk membendung hoax. Di sini ruang pembicaraan masyarakat terbangun secara langsung tanpa memiliki waktu untuk mengikuti arus media sosial.
Dengan mengurangi bermain medsos dan membiasakan berkomunikasi secara langsung, propaganda hoax akan bisa tereliminir.
Sayang kesadaran untuk meninggalkan gadget saat nongkrong tidak terjadi di luar Tulungagung. Hal ini dialami oleh Abraham Kurnia, pemilik kedai Kawan Lama (sekarang bernama Tilik Sawah) di Jalan Veteran Kota Kediri. “Di awal merintis kedai saya langsung mengkampanyekan tidak bermain gadget,” katanya.
Meski tetap menyediakan wifi, Bram memberi kompensasi khusus kepada pelanggan yang mampu bertahan selama satu jam tidak bermain gadget. Kompensasi itu bisa berupa minuman atau makanan gratis.
Namun apa lacur, upaya itu tak membuahkan hasil. Keinginan Bram untuk menciptakan ruang ngobrol dan diskusi di dalam kedai tak mendapat respon positif. Hingga pada akhirnya Bram harus menyerah dan menghentikan kampanye bebas gawainya.
Dia mengakui jika keberadaan wifi akan memperparah ruang media sosial dengan sampah digital. Lebih parah lagi jika diselipi hoax dan informasi menyesatkan. “Tapi kami tak punya solusi mengalihkan perhatian dari medsos, seperti kebiasaan nyethe di Tulungagung,” katanya.
Jika penyebaran hoax sudah sedemikian mengkhawatirkan, tidak ada alasan untuk tidak merawat tradisi lokal seperti nyethe. Sebuah perlawanan kultural menghadapi bias digital.
Penulis: Hari Tri Wasono