Bacaini.ID, MALANG – Tanggal 28 Agustus 2024 siang.
Kami sudah rasan-rasan sejak sopir Toyota Hiace yang mengantar kami menuju kampus Universitas Brawijaya (UB) Malang mengatretkan kendaraan, mencari posisi parkir yang nyaman.
Kami memang tidak buat janjian sebelumnya. Penampakan Museum HAM Munir di Gedung B Lantai 1 Fakultas Hukum UB-lah yang membuat semesta tiba-tiba bikin bersepakat.
“Kita harus ke situ mas,” seloroh seorang kawan jurnalis perempuan asal Sorong Papua. Mengenakan lengan panjang warna gelap, ia terlihat paling bersemangat.
Maria Baru namanya. Jurnalis media online Suara Papua. Maria sejak sekolah menengah pertama hingga kuliah berada di Yogyakarta. Karenanya ia lumayan fasih bertutur bahasa Jawa.
“Yo iso no,” katanya dengan logat Jawatengahan yang medok.
Hari itu kami sama-sama jadi peserta workshop Digital Story Telling yang digelar ABC International Development (ABCID) Australia selama tujuh hari (24-30 Agustus 2024).
Saya mewakili Bacaini.ID, satu dari tiga media online jaringan Tempo (Teras.id) yang terpilih ikut workshop yang dimentori Mark Bowlling, jurnalis ABC News Australia.
Total ada sebanyak 20 jurnalis dari berbagai daerah dan pulau (Aceh hingga Papua) yang menjadi peserta pelatihan dengan fasilitator pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang.
Siang itu Maria mencangklong tote bag bersablon wajah Dortheys Hiyo Eluay, mantan Ketua Presidium Dewan Papua.
Theys pada 10 November 2001 diculik dan kemudian ditemukan tak bernyawa di mobilnya di sekitar Jayapura. Nasib serupa menimpa aktivis Filep Karma pada akhir tahun 2022, juga ditemukan tewas.
Tote bag bergambar wajah bapa Theys yang tersampir di pundak Maria Baru adalah properti yang menarik perhatian sekaligus kontekstual.
Saya menganggukkan kepala mengisyaratkan tanda setuju atas usul Maria. Kami memang harus ke Museum HAM Munir. Kapan lagi kalau tidak hari itu?
Isyarat serupa diperlihatkan Fachri Hamzah, kawan jurnalis Tempo Padang, Sumatera Barat, yang membuat kode seirama.
Fachri sepintas terlihat pendiam. Namun bujang berdarah Minang itu bisa tiba-tiba berubah ekspresif kalau sudah berbincang soal masa depan pekerja media massa dan liku-liku dunia pergerakan.
Kami sama-sama mengenal Munir. Setidaknya dari laporan media massa. Dari buku. Dari cerita kawan-kawan aktivis yang masih bersetia di jalur pergerakan.
Munir seorang pejuang HAM yang banyak mengungkap persoalan kemanusiaan berat di Indonesia. Seperti penembakan Trisakti dan Semanggi, korban kerusuhan Timor-Timor dan kasus penculikan aktivis 1998 yang hingga kini belum tuntas.
Munir Said Thalib tutup usia secara mendadak setelah mengeluh sakit perut. Peristiwa tahun 2004, saat Munir berada di atas pesawat dalam perjalanan menuju Negeri Belanda. Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot pesawat Garuda divonis 14 tahun penjara yang direkrut menjadi agen oleh mantan Deputi V BIN Muchdi Purwoprandjono yang kemudian dibebaskan. Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada saat Kepala BIN dijabat oleh Jendral TNI A.M Hendropriyono (mertua mantan Panglima TNI Andhika Perkasa, yang saat ini menjadi kandidat calon gubernur Jawa Tengah dari PDIP), pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Hasil pemeriksaan medis terungkap: kematian Munir lantaran racun arsenik di perutnya dan hingga kini kasusnya belum sepenuhnya terang benderang hingga Pollycarpus meninggal pada saat pandemi Covid-19.
Grup band pop indie Efek Rumah Kaca mengenang peristiwa kematian Munir itu dengan membuat lagu berjudul Di Udara.
Oh ya, kami sebetulnya berada di Fakultas Hukum Unibraw Malang dalam rangka menghadiri acara Konferensi Hak Asasi Manusia Asia dan Pasifik ke-7.
Kami diberi tugas mempraktikkan materi workshop Digital Story Telling yang diajarkan Mark, Marie Lou dan Hanna Fauzi. Beruntung, di sela padatnya acara konferensi, kami masih bisa “mencuri” waktu.
Berkesempatan mengunjungi Museum HAM Munir adalah bonus besar. Siang itu kami bergegas dengan riang gembira.
Begitu masuk ruang museum, pandangan kami berhenti pada patung Munir berukuran setengah badan. Patung berwarna gelap dan juga mengkilap.
Saya tiba-tiba ingin memotretnya, sebelum melanjutkan melihat-lihat artefak kemanusiaan yang lain.
Terbayang Maria Baru dengan tote bag bersablon wajah bapa Theys berdiri di samping patung Cak Munir. Saya utarakan keinginan itu kepada Maria dan ia tertawa, tidak merasa keberatan.
“Bapa Theys bertemu dengan Cak Munir,” selorohku dan lagi-lagi Maria ketawa.
Maria juga ingin dipotret dengan posisi serupa. Namun entah kenapa saat saya mengambil foto dari ponselnya, tiba-tiba ia tangkupkan tote bag bersablon bapa Theys ke wajahnya.
Saya melihat sepasang mata yang berkaca-kaca.
Tampung Semua Artefak HAM
Sementara itu Fachri sudah bergerak dengan kamera DSLRnya. Dari jarak sepelemparan tomat, jurnalis muda yang kaya pengalaman liputan itu, tidak berhenti ambil foto.
Mungkin ia hendak membuat laporan panjang dan karenanya butuh banyak bahan. Suasana museum HAM siang itu relatif tenang, tidak banyak kunjungan.
Dari keterangan pengelola museum, sebagian besar artefak di dalam ruangan merupakan koleksi pribadi Cak Munir semasa hidupnya.
Terlihat penghargaan dari Pemerintah Swedia tahun 2000 untuk Cak Munir. Penghargaan The Right Livelihood Award yang serupa dengan nobel.
Kemudian poster sejarah perjalanan Cak Munir, foto-foto, poster korban penculikan, buku, skripsi, meja dan kursi kerja Munir dan banyak lainnya.
Ada juga arsip pelanggaran HAM berat di Indonesia dalam bentuk file digital.
Menurut Dekan Fakultas Hukum Unibraw Aan Eko Widiarto, Museum HAM Munir baru dimulai, yakni dilaunching 27 Agustus 2024, di mana ke depan akan ada pengembangan, termasuk penambahan isinya.
“Sementara semua koleksi museum berasal dari Museum Omah Munir sebelumnya (Kota Batu),” tutur Aan.
Museum Omah Munir yang dimaksud berada di Kota Batu, tempat kelahiran Cak Munir. Museum dikelola Yayasan HAM Omah Munir yang diampu Suciwati, istri mendiang Cak Munir.
Namun karena sesuatu hal, perjalanan Museum Omah Munir di Kota Batu berhenti, dan kemudian berpindah ke Gedung Gedung B Lantai 1 Fakultas Hukum Unibraw.
Berbeda dengan sebelumnya. Pengelolaan museum HAM Munir di kampus Unibraw dilakukan Fakultas Hukum dan Yayasan Omah Munir secara Bersama-sama.
“Dan semua tahu Cak Munir sendiri merupakan alumni Fakultas Hukum Unibraw,” terangnya.
Universitas Brawijaya, khususnya Fakultas Hukum berharap keberadaan Museum HAM Munir jadi ruang pembelajaran, diskusi nilai-nilai hak asasi manusia yang diperjuangkan mendiang Munir.
Aan menambahkan, meski bernama Munir, artefak di museum bukan hanya terkait Munir, tapi semua yang menyangkut peristiwa kemanusiaan, baik di Indonesia maupun luar negeri.
Saat ini yang sudah ada adalah artefak terkait peristiwa Marsinah. Ia berharap ke depan artefak terkait Tragedi Kanjuruhan Malang juga bisa menjadi bagian dari museum HAM Munir.
“Semua yang terkait dengan artefak kemanusiaan bisa menjadi bagian Museum HAM Munir, termasuk peristiwa Kanjuruhan,” pungkasnya.
Penulis: Solichan Arif
Editor : Litbang Bacaini.ID