Suara rebana memecah keheningan malam di serambi Masjid Al Khalid. Tetabuhan dari kulit kambing bersahutan membentuk nada-nada ritmis yang elok didengar. Sesekali tawa anak kecil menyelingi permainan alat musik khas Melayu ini.
Malam itu selepas sholat Isya, belasan remaja laki-laki dan perempuan berkumpul di serambi Masjid Al Khalid Kelurahan Semampir, Kecamatan Kota, Kediri. Mereka adalah remaja masjid yang sedang berlatih musik hadrah.
Nada-nada ritmis permainan rebana makin syahdu saat berbaur dengan lantunan shalawat. Tempo yang dimainkan pun cukup rancak hingga memancing siapapun yang mendengar turut bergoyang.
Meski bukan pemain rebana profesional, musik yang dimainkan remaja masjid Al Khalid cukup memukau. Kekompakan dalam memukul rebana dan melantunkan shalawat menandakan jika mereka telah berlatih cukup lama.
“Awalnya agak susah mengajak anak-anak muda bermain hadrah. Tetapi lama-lama mereka suka,” kata Andika, humas pengurus Masjid Al Khalid kepada Bacaini.
Para pemain hadrah ini adalah anak-anak muda yang tinggal di sekitar masjid. Sebagian dari mereka adalah jamaah yang rutin mengikuti sholat di masjid.
Pelatihan musik di masjid, menurut Andika, adalah salah satu strategi menarik anak-anak muda ke masjid. Dengan musik mereka akan merasa nyaman berada di masjid. Sehingga mendorong mengikuti kegiatan peribadatan di sana. “Kami juga fasilitasi wifi gratis dengan kecepatan tinggi di masjid,” kata Andika.
Upaya pengurus masjid untuk menggaet anak-anak muda ini tak sia-sia. Satu per satu jumlah kehadiran mereka terus bertambah.
Kegiatan latihan hadrah ini digelar tiap hari Rabu. Namun jika menghadapi pertunjukan, mereka berlatih dua kali dalam sepekan. Tingginya intensitas kehadiran anak-anak di masjid diyakini mampu mencegah hal buruk dalam keseharian mereka, terutama di masa pandemi saat aktivitas sekolah terhenti.
Sejarah Hadrah
Kesenian hadrah telah membudaya pada masyarakat Islam Nusantara jauh sebelum kemerdekaan negeri ini. Shalawat Ishari bermula dari sebuah amaliyah Thariqah Mahabbaturrasul dengan mensenandungkan maulid Syaraful Anam dan syair-syair Diwan Hadrah.
Shalawat tersebut diajarkan pertama kali oleh Habib Syech Botoputih Surabaya, seorang ulama sekaligus mursyid thariqat pada tahun 1830. Shalawat ini pada akhirnya populer di kalangan santrinya dan masyarakat dengan nama hadrahan atau terbangan.
“Secara turun temurun kegiatan hadrahan ini ditradisikan oleh murid-murid para Mursyid Thariqah Mahabbaturrasul dan menjadi seni tradisi masyarakat muslim Jawa,” kata KHM Wafiyul Ahdi, Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang yang dilansir nu.or.id.
Pada tahun 1918 shalawat hadrah dikembangkan kembali oleh KH Abdurrahim bin Abdul Hadi di Pasuruan. Upaya ini sekaligus mensiasati larangan berkumpul kaum pribumi di zaman penjajahan, sehingga hadrah menjadi tempat musyawarah para ulama.
Perlawanan melalui kesenian hadrah ini kembali menguat saat menghadapi penyebaran paham komunis di tanah air. Atas inisiatif KH Abdul Wahab Hasbullah yang saat itu menjabat Rais Am PBNU, kelompok-kelompok hadrah diorganisir untuk menandingi kesenian dan budaya milik PKI.
Hingga pada tahun 1959 berdirilah organisasi Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia (Ishari) yang berkantor pusat di Surabaya. (HTW)