Bacaini.ID, BLITAR – Militer memakai istilah Kakap dan Teri dalam Operasi Trisula pasca peristiwa 30 September 1965 atau G30SPKI di wilayah Blitar Selatan, Jawa Timur
Kakap yang merujuk pada jenis ikan besar dipakai untuk menyebut orang besar atau tokoh PKI yang berhasil ditangkap. Sedangkan Teri yang merujuk ikan laut kecil-kecil digunakan untuk menyebut para anggota, simpatisan atau loyalis PKI.
“Dalam Operasi Trisula kakap yang tertangkap dianggap berharga karena dibutuhkan untuk dikorek keterangannya. Mereka tidak langsung dibunuh di tempat,” demikian dikutip dari buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65.
Para kakap yang ditangkap di Blitar Selatan dikonfrontasi dengan kakap lain untuk mencocokan keterangan. “Dengan cara itu militer membongkar jaringan ruba dan gua yang digunakan oleh para pelarian dan mulai melakukan pengepungan”.
PKI diketahui berada 5 besar pemenang Pemilu 1955 bersama PNI, NU dan Masyumi. Blitar Raya jadi salah satu tempat berseminya kekuatan merah, yakni antara PKI dan PNI.
Pasca peristiwa G30SPKI kawasan Blitar Selatan yang sebagian besar masih berupa hutan namun tandus, dipilih PKI untuk bangkit kembali.
Dalam buku Saya Seorang Revolusioner, Memoar Rewang, disebutkan Blitar Selatan sebagai kawasan pegunungan tandus dengan tanah yang mirip pegunungan seribu di sebelah selatan Solo dan Yogyakarta.
Menurut Rewang, pemilihan Blitar Selatan untuk bangkit adalah kesalahan analisa, lantaran saat mendapat serangan TNI, orang-orang PKI tidak memiliki ruang untuk melarikan diri.
Mereka hanya bisa bertahan di dalam gua Gayas, Embultuk dan kawasan Tambak. Rewang yang tertangkap di Blitar Selatan membandingkan Blitar Selatan dengan Sulawesi yang memiliki tempat luas untuk bergerak saat diserang.
Saat militer menyerang dengan kekuatan 13 ribu orang TNI termasuk Hansip dan Ansor NU, orang-orang PKI di Blitar Selatan tidak berkutik. Apalagi di setiap jarak 50 meter TNI mendirikan pos pagar betis.
Taktik yang dipakai militer untuk menghancurkan PKI di Blitar Selatan serupa dengan taktik penghancuran pemberontakan Darul Islam (DI) yang melibatkan Masyumi dan PSI.
“Seandainya terjadi di Kalimantan atau Sulawesi, mungkin tidak akan sefatal Blitar,” kata Rewang di Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65.
Kedatangan para pimpinan PKI di Blitar Selatan berlangsung mulai akhir tahun 1967. Mereka disambut hangat mengingat mayoritas penduduk Blitar Selatan adalah konstituen PKI.
Di Blitar Selatan juga banyak tinggal orang-orang bekas Batalyon Brantas yang berideologi kiri. Mereka direkrut dari masyarakat setempat di sepanjang sungai Brantas.
Upaya PKI untuk bangkit di Blitar Selatan gagal yang itu diperparah adanya penghianatan para kader setelah meraka tertangkap.
Pada tahun 1968, proyek kebangkitan PKI di Blitar Selatan praktis hancur lebur. Dalam sebuah serangan, pimpinan PKI Oloan Hutapea dan Surachman tewas. Semua tokoh PKI yang lain, termasuk Rewang, ditangkap.
Mereka yang tertangkap disekap dalam tahanan selama belasan hingga puluhan tahun.
Sesama tahanan diketahui menyebut pasukan gundul kepada eks orang-orang PKI yang dikerahkan untuk proyek pembangunan pemerintah dan terus mengikuti indoktrinasi tentang kejahatan dan kekejian PKI.
“Saya tertangkap pada 21 Juli 1968 saat operasi pagar betis hampir berakhir. Saya ditangkap oleh anggota Batalyon 511 yang berkekuatan kira-kira setengah regu,” kata Rewang dikutip dari Saya Seorang Revolusioner, Memoar Rewang.
Penulis: Solichan Arif