Bacaini.ID, JAKARTA – Era demokrasi, wakil rakyat memegang peran penting sebagai jembatan antara kepentingan masyarakat dengan kebijakan negara. Namun realitas politik sering memperlihatkan bahwa kriteria pemilihan wakil rakyat masih banyak ditentukan oleh popularitas dan kekayaan karena ongkos politik yang mahal.
Dalam perspektif ilmu politik dan komunikasi, dua hal tersebut tidaklah cukup. Seorang wakil rakyat juga harus memiliki empati yang mendalam terhadap rakyat yang diwakilinya, serta keterampilan komunikasi publik (public speaking) yang mumpuni.
Secara teoretis, konsep leadership with empathy yang dikemukakan Daniel Goleman dalam teori Emotional Intelligence menjelaskan bahwa kecerdasan emosional seorang pemimpin berperan sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Empati memungkinkan seorang wakil rakyat memahami persoalan rakyat tidak hanya sebagai data statistik, melainkan sebagai pengalaman hidup nyata yang memerlukan solusi.
Seorang legislator yang kaya dan pintar bisa menyusun strategi kebijakan, tetapi tanpa empati, kebijakan tersebut berpotensi jauh dari kebutuhan riil masyarakat.
Selain itu, teori komunikasi politik menurut Harold Lasswell—“Who says what in which channel to whom with what effect”—menekankan bahwa komunikasi politik bukan sekadar penyampaian pesan, tetapi juga bagaimana pesan tersebut diterima dan memengaruhi publik. Di sinilah keterampilan public speaking menjadi penting.
Wakil rakyat yang mampu berbicara dengan jelas, persuasif, dan penuh empati akan lebih mudah membangun kepercayaan publik, sekaligus mencegah jarak antara elit politik dan masyarakat. Namun sebaliknya bisa menciderai hati rakyat dan membuat anti pati masyarakat.
Empati dan public speaking juga terkait erat dengan teori legitimasi politik yang dikemukakan Max Weber. Weber membagi legitimasi kekuasaan menjadi tradisional, karismatik, dan legal-rasional.
Dalam konteks demokrasi modern, legitimasi wakil rakyat banyak bertumpu pada kemampuan mereka membangun kepercayaan (trust) melalui komunikasi yang efektif. Empati dalam penyampaian pesan politik menambah dimensi karismatik, sedangkan keterampilan public speaking memperkuat rasionalitas pesan. Kedua hal ini memperkokoh legitimasi wakil rakyat di mata masyarakat.
Pada praktiknya, wakil rakyat dituntut hadir bukan hanya secara formal, tetapi juga dengan sikap yang mencerminkan kepedulian. Oleh karena itu, tindak flexing kekayaan, pamer gaya hidup mewah, maupun guyonan satir yang menyinggung rakyat sudah tidak pantas dilakukan.
Di tengah kesenjangan sosial yang nyata, perilaku tersebut bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga berpotensi meruntuhkan legitimasi politik. Seorang legislator tidak cukup hanya pintar berbicara, tetapi harus berbicara dengan penuh empati dan sensitivitas sosial.
Atas dasar itu, perlu adanya pembekalan bagi para wakil rakyat, bukan hanya terkait materi teknis seperti fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, tetapi juga pembekalan kepribadian, etika, sensitivitas sosial, serta keterampilan public speaking.
Dengan demikian, wakil rakyat tidak hanya menguasai aturan main politik, tetapi juga memiliki bekal untuk berkomunikasi secara tepat, bijak, dan berwibawa di hadapan publik. Lebih baik pembekalan ini dilakukan di masing-masing partainya sebelum terpilih menjadi wakil rakyat, sehingga setelah terpilih sudah memiliki bekal dan menjadi standar modal dasar ketrampilan dan kemampuan calon wakil rakyat.
Lebih mendalam lagi, menurut teori representation dari Hanna Pitkin, perwakilan rakyat idealnya bukan hanya “standing for” (berdiri mewakili), tetapi juga “acting for” (bertindak bagi kepentingan rakyat). Proses “acting for” inilah yang memerlukan empati dan keterampilan komunikasi.
Dengan empati, wakil rakyat mampu menginternalisasi kebutuhan rakyat. Dengan public speaking yang baik, ia mampu mengartikulasikan kebutuhan tersebut dalam forum legislatif maupun ruang publik.
Pada akhirnya, demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan wakil rakyat yang populer, kaya, atau pintar secara akademik. Masyarakat membutuhkan figur yang mampu mendengar dengan hati, berbicara dengan bijak, dan bertindak dengan tulus.
Empati, sensitivitas sosial, dan kemampuan komunikasi publik bukanlah pelengkap, melainkan fondasi utama agar wakil rakyat benar-benar menjadi representasi rakyat, bukan sekadar simbol kekuasaan. Bukti dari ketidakcakapan para wakil rakyat melakukan public speaking dan rendahnya empati dan kepedulian sosial atas perilakunya terbukti dari marahnya aksi masyarakat menjarah rumah Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio dan Nafa Urbach karena ucapan dan perilaku mereka yang menyakiti masyarakat.
Semoga kedepan setiap partai dan pemerintah meningkatkan standarisasi calon wakil rakyat agar peristiwa ini tidak terulang kembali.
Penulis : Danny Wibisono*
*)Kepala Litbang Bacaini.ID