Bacaini.ID, KEDIRI – Tradisi balapan sapi ternyata bukan hanya ada di Pulau Madura yang dikenal dengan nama Karapan Sapi.
Sejumlah daerah di Indonesia juga memiliki tradisi balapan sapi dengan berbagai nama dan ritual yang berbeda-beda.
Pacuan yang melibatkan sapi-sapi lokal tersebut memiliki makna tersendiri bagi masyarakat setempat. Berikut tradisi pacuan sapi di Nusantara.
Sampi Gerumbungan Bali
Tradisi masyarakat Buleleng, Bali. Dikutip dari Buletin Buleleng, Desa Bebetin adalah tempat lahirnya tradisi Sampi Gerumbungan.
Desa ini terkenal dengan bibit sapi yang bagus baik dari segi fisik maupun cara pemeliharaannya.
Tradisi Sampi Gerumbungan di Desa Bebetin berkaitan erat dengan tradisi budaya agraris serta ritual keagamaan Hindu.
Masyarakat setempat memiliki kepercayaan membuka lahan sawah dengan memakai sepasang sapi untuk membajak akan menuai hasil panen yang berlimpah.
Setelah masa panen para petani membuat sesajen yang disebut ‘tegak kedik’ dan menggelar atraksi Sampi Gerumbungan sebagai ungkapan rasa syukur.
Pacuan sapi dalam Sampi Gerumbungan di Buleleng tidak mengutamakan kecepatan.
Petani Buleleng Bali lebih menekankan unsur keindahan, keseragaman langkah kaki, serta bentuk tubuh sapi yang tegak dan gagah.
Pacu Jawi Sumatera Barat
Pacu Jawi diambil dari bahasa Minangkabau yang artinya balapan sapi. Tradisi ini berasal dari Tanah Datar, Sumatera Barat.
Dalam tradisi Pacu Jawi yang telah diselenggarakan berabad lampau, salah satu syarat daerah penyelenggara Pacu Jawi adalah Gunung Marapi harus terlihat jelas.
Gunung Marapi diyakini sebagai asal mula orang Minangkabau.
Pacu Jawi diselenggarakan setelah panen di sawah yang sudah kosong namun masih basah, berlumpur.
Pacu Jawi melombakan sepasang sapi dengan berlari di lintasan sawah berlumpur dengan panjang sekitar 60–250 meter.
Joki berdiri di belakang dengan memegang kedua sapi. Walaupun namanya mengandung arti balapan, namun hanya dilepas per pasang tanpa lawan tanding.
Tiap pasang sapi berlari secara bergiliran dan tidak ada pemenang secara resmi. Sapi dinilai berdasar kecepatannya dan kemampuan berjalan lurus sesuai lintasan.
Malean Sampi Lombok Barat
Malean Sampi telah ada sejak masa pemerintahan Hindia Belanda sekitar abad ke-18.
Malean Sampi diambil dari bahasa Sasak yang artinya ‘mengejar sapi’.
Sapi-sapi yang dilombakan dalam Malean Sampi, dihias secantik mungkin dengan benda-benda yang menarik perhatian seperti bendera, umbul-umbul, stiker, kalung dan lainnya.
Tradisi Malean Sampi dilakukan secara turun temurun untuk menyambut kegiatan musim tanam berikutnya.
Malean Sampi menjadi wadah bagi para petani, peternak dan para saudagar sapi di Lombok untuk berkumpul sekaligus mempererat hubungan yang saling membutuhkan.
Malean Sampi diawali dengan parade atau defile pasangan sapi mengelilingi arena lomba.
Dalam perlombaan ini, satu per satu pasangan sapi berlari melewati jalur lurus yang sudah disiapkan dilahan berlumpur.
Seperti halnya Pacu Jawi, Malean Sampi juga tidak mengenal istilah menang dan kalah.
Sapi yang larinya bagus, tak berbelok, maka dianggap unggul dan menjadi menjadi incaran para saudagar sapi yang siap membelinya dengan harga tinggi.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif