Bacaini.ID – Aceh kental dengan sejarah perlawanan. Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, militansi rakyat Aceh dalam mengusir kolonial Belanda, begitu terkenal.
Perang Aceh (1873-1904) tercatat banyak merepotkan kolonial Belanda, termasuk menguras keuangan penjajah.
Untuk mempertahankan kedaulatan tumpah darahnya, rakyat Aceh di pelosok gampong (kampung) tak segan mencabut rencongnya. Mereka bergerak dari meunasah ke meunasah (surau).
Begitu juga pada masa awal kemerdekaan. Melihat para politisi Jakarta yang banyak hidup menyenangkan, tidak religius serta tidak cakap, kaum muslim militan Aceh merasa geram.
Peristiwa bersejarah itu berlangsung pada tahun 1950-an. Dipimpin Tengku Muhammad Daud Beureueh, orang kuat Aceh sekaligus benteng Republik dalam revolusi, anggota Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dan zuama (muslim awam taat), memutuskan melawan Jakarta.
Perlawanan dipicu penggabungan wilayah Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara. Pada 19 September 1953 Daud Beureueh mengumumkan Aceh bagian dari Darul Islam.
Bagi orang Aceh waktu itu, syahid dalam berjuang untuk memisahkan Aceh dari Indonesia akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan.
“Daud dan para pengikutnya dalam PUSA secara terang-terangan memberontak terhadap Jakarta dengan dukungan banyak orang Aceh yang menjadi pegawai pemerintah dan tentara,” demikian dikutip dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Namun sebelum itu, tidak bisa dipungkiri jika rakyat Aceh memiliki jasa besar dalam memantaskan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, utamanya terhadap Soekarno atau Bung Karno.
Peristiwa bersejarah itu berlangsung pada 16 Juni 1948 saat Presiden Soekarno melakukan lawatan ke Aceh. Di depan rakyat Aceh, Bung Karno berbicara soal nasionalisme.
Soekarno juga meminta kemurahan hati rakyat Aceh mengulurkan sumbangan dana yang akan dipakai negara untuk membeli pesawat terbang sekaligus jadi pesawat pertama yang dimiliki Indonesia.
Berikut kutipan pidato Soekarno di Hotel Aceh Kutaraja seperti dikutip dari Instagram TNI AU @militer.udara.
“…Sebab itu saya anjurkan, sebelum kita memperkuat dan memperbaiki jalanan mobil dan kereta api atau pun perhubungan di laut, kita usahakan membuat lalu lintas udara.
Di sini saya anjurkan, supaya kaum saudagar akan membeli kapal udara, sebaiknya Dakota dan saya tidak berkeberatan, tuan-tuan akan memberikan namanya sendiri untuk pesawat terbang itu…“ kata Soekarno.
Apa reaksi rakyat Aceh? Atas pengaruh kuat Tengku Muhammad Daud Beureueh, dalam waktu singkat terkumpul emas sebanyak 20 kg dari sumbangan rakyat Aceh.
Dalam buku Sejarah TNI Angkatan Udara Jilid I (1945-1949), penggalangan dana dipimpin Djuned Yusuf dan Muhammad Alhabsji dengan membentuk Panitia Dana Dakota.
Penggalangan dana menghasilkan 130.000 straits dollar (waktu itu). Kemudian AURI menunjuk Opsir Muda Udara II Wiweko Soepono sebagai ketua misi pembelian pesawat dari Singapura.
Pemerintahan Soekarno akhirnya dapat membeli satu unit Pesawat Douglas C-47 Dakota yang diberi nama RI-001 “Seulawah” dengan arti “Gunung Emas”. Pemberian nama Seulawah sebagai ungkapan terima kasih kepada rakyat Aceh.
Pesawat Seulawah kemudian dioperasikan AU sebagai alat transportasi bagi pejabat negara. Tugas pertama Seulawah adalah membawa Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam kunjungan kerja ke Sumatera (Yogyakarta-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Yogya).
Begitulah rakyat Aceh yang selalu menggenggam erat-erat pepatah Pat ujeun yang hana pirang, Pat prang yang hana reda, tiada hujan yang tak berhenti, tiada perang yang tak berakhir.
Penulis: Solichan Arif