Dalam disiplin manajemen modern, bencana alam tidak pernah diperlakukan sebagai kejadian acak semata. Ini adalah predictable risk, sebuah risiko yang dapat dipetakan, dimitigasi, dan dikelola melalui sistem yang matang.
Karena itu, kegagalan menangani banjir dan longsor jarang berakar pada kurangnya informasi, melainkan pada kegagalan kepemimpinan manajerial. Masalah utama bukan hujan, bukan tanah, dan bukan takdir.
Masalahnya adalah cara berpikir pemimpin terhadap krisis.
Dalam crisis management, penanganan bencana harus berjalan dalam tahapan yang jelas:
- Emergency Response (0–7 hari)
Fokus penanganan ini adalah menyelamatkan nyawa, evakuasi, logistik darurat, layanan kesehatan, dan komunikasi publik yang jujur.
- Stabilization & Relocation (1–6 bulan)
Tahap ini adalah relokasi korban ke zona aman, pembangunan hunian sementara yang layak, pemulihan infrastruktur dasar, dan kepastian sosial.
- Reconstruction & Risk Reduction (pasca 6 bulan)
Penataan ulang tata ruang, pemulihan lingkungan, dan penegakan hukum atas penyebab struktural bencana.
Ini bukan teori. Ini standar global. Ketika tahapan ini tidak berjalan, penyebabnya bukan keterbatasan teknis, tetapi ketiadaan kepemimpinan sistemik.
Kepemimpinan Reaktif Adalah Ciri Manajemen Gagal
Pemimpin yang menanggapi kritik bencana dengan narasi “ada pihak yang menyalahkan pemerintah” menunjukkan pola reactive leadership. Dalam ilmu manajemen, ini disebut defensive governance.
Ciri-cirinya jelas, yaitu fokus pada citra, bukan solusi. Mengelola persepsi, bukan sistem. Menanggapi data dengan emosi, bukan evaluasi. Kritik dipersepsikan sebagai ancaman, bukan feedback loop. Padahal, organisasi yang sehat justru menjadikan kritik sebagai early warning system.
Ketika Negara Dikelola Seperti Kampanye
Manajemen krisis membutuhkan koordinasi lintas lembaga, keputusan cepat tanpa pencitraan, dan akuntabilitas berbasis hasil. Sebaliknya, kepemimpinan performatif melihat negara sebagai panggung komunikasi, bukan sebagai sistem operasional.
Akibatnya? Evakuasi berjalan lambat, relokasi tertunda, rekonstruksi tidak pernah tuntas, dan akar masalah dibiarkan hidup. Yang penting bukan masalah selesai, tetapi narasi aman.
Mengapa Pendekatan Holistik Diabaikan?
Karena pendekatan holistik membutuhkan keberanian menegakkan hukum lingkungan, menyentuh kepentingan ekonomi besar, dan tidak memberi hasil politik instan. Dalam manajemen, ini dikenal sebagai short-termism leadership, yakni pemimpin yang hanya berorientasi pada dampak jangka pendek, meski merusak organisasi dalam jangka panjang.
Manajemen Tanpa Ownership Selalu Gagal
Pemimpin manajerial sejati memiliki satu ciri utama: ownership. Ia berkata..,”’Ini tanggung jawab saya.” Pemimpin yang menolak ownership akan mencari kambing hitam, mengaburkan kegagalan, dan menyalahkan pihak lain. Dalam organisasi bisnis, tipe pemimpin ini cepat diganti. Dalam negara, dampaknya dibayar rakyat.
Bencana alam memang tidak bisa dicegah. Namun bencana kemanusiaan akibat salah kelola bisa dan harus dicegah. Ketika pemimpin gagal berpikir holistik, gagal bertindak terstruktur, dan lebih sibuk membela citra, maka krisis bukan lagi peristiwa, melainkan produk dari manajemen yang salah. Dan seperti dalam semua organisasi, krisis yang dikelola dengan narasi, bukan sistem, akan selalu berulang.
Salam sehat selalu…
Penulis: Arief Supriyono*
*)Pemerhati Sosial dan Kesehatan





