Bacaini.id, JAKARTA – Setiap penyelenggara telekomunikasi di Indonesia, selain terikat dengan undang-undang tentang telekomunikasi (UU No 36 Tahun 1999) juga harus terikat dengan tiga undang-undang lainya, yaitu Pertama,UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang mengatur tentang tata Kelola PSE, moderasi konten, penyelenggaran sistem elektronik privat, ketentuan membantu dalam penegakan hukum.
Kedua, UU PDP (Perlindungan Data dan Privasi) yang mengatur penerapan prinsip dalam pemrosesan data, Crossborder Data Transfer. Ketiga, UU PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) yang mengatur tentang Biaya Hak Penyelenggaraan, USO (Universal Service Obligation) dan Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi.
Ditengah kontroversi kehadiran Starlink yang sudah ready menjual layanan di Indonesia, banyak pihak tidak tahu jika mereka sudah beberapa tahun lalu mulai mengurus land of right, perijinan frekuensi, uji laik operasi di Depkominfo dan membuat heboh dunia pertelekomunikasian Indonesia karena tiba-tiba Starlink sudah jualan di toko online di Indonesia.
Hal ini membuat pihak yang ingin memonopoli kerjasama dengan Starlink heboh, bingung dan mengadu ke parlemen. Maka Bacaini.ID berusaha ingin mengetahui dan menakar seberapa banyak manfaat Starlink buat Indonesia ditinjau dari berbagai aspek yang menguntungkan
Pita Frekuensi Satelit Menyumbang Pajak dan Retribusi Negara
Pita frekuensi yang digunakan satelit LEO Stralink ada yang menggunakan pita Ku-Band Uplink/Downlink : (14.00-14.50) GHz dan (10.70-12.70) GHz, maka perhitungan Biaya Hak Penggunaan (BHP) Spektrum Frekuensi Radio. Aturan BHP Frekuensi Satelit ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2023, dimana dalam aturan tersebut BHP frekuensi satelit baik satelit GSO dan NGSO (non GSO) dihitung berdasarkan lebar frekuensi uplink dan downlink dikalikan dengan jumlah satelit.
Menurut Ketua Fraksi PKS DPR RI, Jazuli Juwaini sekaligus anggota Komisi I DPR RI yang membawahi Depkominfo. “Adalah tidak fair jika sistem perhitungan BHP Frekuensi Satelit GSO dan NGSO dibuat sama. Karena satelit GSO itu hanya satu, sedangkan NGSO itu bisa ratusan, tetapi perhitungan biaya BHP frekuensi pengalinya tetap satu, itu yang kurang menguntungkan bagi negara. “PP ini yang seharusnya direvisi, ini agar memberi prinsip keadilan yang sama dan menguntungkan negara”, ujar Jazuli kepada Bacaini.ID
Caleg terpilih 2024 dari Dapil 2 Banten menyampaikan bahwa teknologi satelit NGSO seperti Starlink ini kita tidak bisa menghindari atau menolak. Ini perkembangan teknologi yang menguntungkan tetapi kita jangan hanya jadi negara pengguna saja atau konsumen saja. Pemerintah harus jeli dan membuat regulasi yang memberikan manfaat banyak bagi negara. Memang, menurut Jazuli, dibandingkan dengan membangun BTS di daerah pedalaman yang susah akses transportasi, susah ketersediaan listrik dan jaraknya jauh sehingga untuk menghubungkan antar BTS dengan Microwave sulit. Maka Starlink menguntungkan dan murah untuk menghadirkan internet kecepatan tinggi.
Starlink juga dapat digunakan sebagai backbone yang mengubungkan antar BTS Selular di pedalaman atau menggantikan Microwave atau alternatif VSAT C-Band. Lebih kecil daya listrik, lebih ringan dan lebih mudah mobilisasinya ke daerah pedalaman sehingga ongkos transportasinya murah untuk instalasi di pedalaman.
Jazuli berpendapat, Starlink juga harus terikat penyelenggaraan USO sesuai aturan Peraturan Pemerintah (PP). Dengan menyisihkan persentase dari pendapatan kotor dalam setahun. Meskipun menurut Jazuli, ironisnya program USO sendiri melalui BAKTI terlibat dalam mega skandal korupsi. “Hal itu kan pada tataran pelaksanaan yang menyimpang. Namun dalam kebijakan, semua penyelenggara satelit harus melakukan dan terikat hal yang sama”, ujar Jazuli.
Mendukung PDP dan Penegakan Hukum
Disahkanya UU PDP, maka penyelenggara layanan satelit juga harus diwajibkan membangun gateway di Indonesia untuk memudahkan mengatur penerapan prinsip dalam pemrosesan data dan Crossborder Data Transfer.
Hal terpenting lainya menurut Jazuli juga dukungan Starlink dalam membantu fungsi penegakan hukum. Jangan sampai kemudahan akses internet cepat ini malah disalahgunakan oleh pengguna, misalkan untuk kejahatan terorisme, korupsi, judi online dan perdagangan ilegal. Apalagi jika layanan Starlink juga dapat dimanfaatkan untuk panggilan telpon. Maka harus menyediakan fungsi penyediaan informasi dan data retensi untuk CDR (call detail records) dan IPDR (internet protocol data record) guna mendukung penegakan hukum.
Depkominfo harus cepat secara inovatif menyesuaikan regulasi dengan yang terjadi dilapangan dan tuntutan perkembangan teknologi. Harus antisipatif, mereka kan hampir setiap tahun melaksanakan proyek kajian kebijakan, kajian ilmiah di puslitbang. Seharusnya hal-hal seperti ini sudah diantisipasi sebelumnya. “Jangan nunggu heboh baru kemudian bingung merevisi aturan dan kebijakan”, ujar Jazuli.
Komponen TKDN
Pemanfaatan Starlink di daerah pedalaman juga diharapkan memberikan kesempatan dan peluang supply peralatan pendukung seperti battery (accu) dan solar panel untuk supply listrik di pedalaman. Kemudian untuk komponen lain seperti antena juga memungkinkan diproduksi dari material lokal dari Indonesia. Sebagai contoh, saat ini sudah banyak perusahaan lokal di Indonesia yang dapat memproduksi antenna VSAT C-Band dan Ku-Band. Diharapkan hal ini juga berlaku pada Starlink. Membuka investasi dan lapagan kerja baru.
Penulis : Danny Wibisono
Editor: Hari Tri Wasono