Kenapa bukan Malahayati yang menjadi Pahlawan Nasional? Bukankah Malahayati seorang Panglima Perang Perempuan yang dikenal di berbagai negara, karena kepemimpinan dan keberaniannya dalam memimpin perang besar?
Itu salah satu pertanyaan dari banyak budayawan dan sejarawan yang kritis terhadap peringatan Hari Pahlawan yang disematkan pada Kartini.
Pertanyaan kritis seperti ini mulai menyeruak ke hadapan publik terutama pasca runtuhnya Orde Baru. Khususon pada peringatan hari besar yang digagas oleh negara dalam memilih sosok yang layak dianugerahi gelar pahlawan.
Bahkan pada medio 2005-an muncul tuntutan untuk mengajukan Soeharto sebagai sosok yang layak diberi gelar pahlawan bangsa.
Tuntutan yang bersifat laten itu sepertinya akan terus didaur ulang.
Gelar kepahlawanan-pun menjadi kontroversial, standar kelayakan seseorang dianggap sebagai pahlawan jadi polemik baru di kalangan politisi, cendekiawan dan budayawan.
Tapi semua itu sayangnya hanya berjalan sesaat saja, hanya bersifat momentum.
Karena hingga kini standard kelayakan seseorang dianggap layak untuk mendapat gelar pahlawan belum usai dan justru hilang dari pendengaran masyarakat.
Kartini dianggap tokoh pergerakan pendidikan perempuan lantaran surat menyuratnya dengan sahabatnya yang bernama Abendanon dari Belanda.
Kartini dianggap keluar dari perspektif tradisi masyarakat Jawa yang seolah melarang perempuan untuk beraktifitas di luar rumah.
Tapi benarkah demikian perspektif sistem sosial di Jawa?
Kartini Fonds atau Dana Kartini atau Yayasan Kartini merupakan organisasi pergerakan perempuan yang didirikan pada 27 Juni 1912 di kota Den Haag, Belanda.
Kartini Fonds didirikan atas prakarsa dari penganut kebijakan Politik Etis bernama Ny. C. Th. Van Deventer.
Tuan dan Nyonya C. Th. Van Deventer yang mendirikan organisasi wanita dengan nama Kartini Fonds adalah tokoh politik etis.
Politik etis merupakan haluan politik yang berjalan dari tahun 1900 sampai 1942 atau tepatnya berjalan pada masa pemerintahan Hindia Belanda (https://mail.online-journal.unja.ac.id).
Pada tahun itu pula Yayasan Kartini mendirikan Sekolah Kartini. Dalam catatan di atas bisa kita baca bahwa pergerakan atas nama Kartini sebenarnya dijalankan dan diinisiasi oleh Belanda sendiri.
Pada tahun 1904 Dewi Sartika di Bandung sudah membuat Sekolah Istri. Sebuah sekolahan untuk mendidik perempuan agar mampu berkreasi dan beraktifitas untuk mensupport pergerakan suaminya.
Lalu kenapa bukan Dewi Sartika yang dijadikan contoh sebuah semangat pergerakan kaum perempuan?
Apakah karena Sartika tidak berkaitan sama sekali dengan Belanda? Atau jangan-jangan Deventer justru terinspirasi oleh Dewi Sartika yang mampu membuat sekolah untuk perempuan?, sehingga gerakan Dewi Sartika harus dikaburkan.
Sehingga semua tokoh pergerakan di negeri ini seolah di inisiasi oleh Belanda? Pertanyaan kritis yang membutuhkan keberanian untuk berburu jawaban.
Kenapa butuh keberanian? Karena akan menerjang kemapanan sejarah yang sudah diajarkan di seluruh sekolah di negeri ini.
Kemapanan itu juga sudah pasti tak mudah untuk dibongkar, karena keterlibatan wilayah politik nasional dan internasionalnya sangat besar.
Orang-orang Indonesianis yang bersemangat anti kolonialisme cum menolak hegemoni barat jelas bersemangat bempertanyakan atau bahkan membongkar perspektif kesejarahan nasional.
Di era digital dan informasi yang sangat terbuka ini banyak informasi dari penelitian dan cara berpikir baru bertebaran.
Sehingga informasi tentang penelitian sangatlah mudah di akses dan membuat semua yang berpikir kritis mulai mempertanyakan kemapanan sejarah nasional yang tak jarang sangat kontroversial.
Konsolidasi semangat nasionalisme perlu dilakukan dengan membuka semua detail tokoh pergerakan nasional, dari perilaku baik dan buruknya, sebagai pelajaran untuk proses membangun kemandirian negara dan bangsa Indonesia.
China telah melakukan konsolidasi model tersebut. Sejarah panjang politik negara dari mulai era kerajaan hingga modern dibuka lebar, lalu diambil sisi positifnya untuk menghindari kesalahan yang sama oleh leluhur.
Kapan rakyat Indonesia memulai konsolidasi semangat nasionalisme?
Penulis: Nashir Ngeblues
*) seniman cum budayawan tinggal di Malang