Generasi Z yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, kini mulai memasuki dunia kerja dan membawa dinamika baru yang menantang norma-norma tradisional. Mereka dikenal dengan penekanan kuat pada fleksibilitas, kesejahteraan, dan integrasi teknologi. Namun, banyak perusahaan menghadapi tantangan dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan harapan generasi ini, yang sering kali berujung pada pemecatan karyawan kepada Gen Z.
Sejumlah literasi menyebut Gen Z menyukai keseimbangan antara kerja dan hidup, artinya lebih menyukai fleksibilitas jam kerja dan opsi work from home (WFH). Mereka kurang menyukai stabilitas pekerjaan dan hierarki karier.
Gen Z lebih mengutamakan kesehatan mental dan emosional dan cenderung meninggalkan pekerjaan yang tidak mendukung keseimbangan ini (Stillman, 2017). Selain itu, Gen Z lebih menyukai pekerjaan yang mengekspresikan identitas dan nilai mereka dan menyukai struktur organisasi yang horizontal dan kesempatan untuk berwirausaha.
Karena Gen Z dikenal sebagai generasi yang paling beragam secara rasial dan etnis, mereka memiliki komitmen kuat terhadap keberagaman dan inklusi. Gen Z menyukai kepemimpinan dalam perusahaan yang beragam (Seemiller, 2016).
Faktor lainya Gen Z yang tumbuh dengan teknologi digital lebih terbuka terhadap diskusi mengenai kesehatan mental, keseimbangan hidup dan inklusi (Twenge, 2017).
Persoalan Gen Z di Tempat Kerja
Fenomena banyaknya Gen Z yang dipecat dari pekerjaan menjadi perhatian serius untuk dipecahkan. Berikut beberapa alasan perusahaan memecat mereka dari daftar karyawan:
Kurang motivasi dan inisiatif
Motivasi dan inisiatif yang kurang di tempat kerja biasanya dipicu dengan gaya kepemimpinan generasi sebelumnya. Jika pemimpin dapat memberikan motivasi dan mendidik inisiatif seperti gaya yang diharapkan Gen Z, maka akan diperoleh output kerja maksimal dari Gen Z.
Keterampilan komunikasi yang buruk
Interaksi teknologi yang tinggi serta penggunaan gawai yang berlebih menyebakan interaksi sosial Gen Z buruk. Demikian pula perhatian yang kurang terhadap lingkungan sekitar dan komunikasi interpersonal yang berbeda dengan offline.
Susah menerima masukan
Butuh penelitian psikologi kognitive lanjutan dan psikologi komunikasi terkait faktor ini pada Gen Z.
Ketidakcocokan budaya dan kesulitan bekerja dalam tim
Jika gaya kepemimpinan, situasi kerja, metode kerja tidak sesuai dengan ciri dan keinginan dari Gen Z, maka adaptasi Gen Z terhadap lingkungan kerja di perusahaan akan sangat buruk dan memberikan efek tidak nyaman. Ini berdampak pada kinerja mereka menjadi buruk karena merasa tidak kondusif dan nyaman di tempat bekerja.
Melihat persoalan di atas, dibutuhkan analisis tentang pola komunikasi Gen Z melalui pendekatan Teori Adaptasi Budaya (Cultural Adaptation Theory) (Kim, 2001), untuk menjadi panduan bagaimana seharusnya Gen Z berada di lingkungan yang mayoritas dipimpin oleh generasi sebelumnya.
Di satu sisi, perlu strategi untuk memaksimalkan kelebihan Gen Z sehingga output kinerjanya dapat maksimal berkontribusi kepada perusahaan.
Adaptasi dari sisi Gen Z dan perusahaan terhadap situasi kerja dan lingkungan yang masih banyak didominasi oleh generasi sebelumnya memang tidak mudah. Namun ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memecah kebuntuan itu:
- Gen Z agar mudah berdapatasi dengan budaya kantor yang bercampur dengan generasi sebelumnya adalah dengan cara berkomunikasi yang baik, tidak susah menerima masukan dengan cara meningkatkan kemampuan interpersonal komunikasinya sehingga mudah bekerja dengan tim yang berbeda generasi dan menyesuaikan dengan budaya kultur generasi sebelumnya;
- Kemampuan Gen Z dalam hal teknologi yang lebih dibandingkan generasi sebelumnya, jika pemimpin perusahaan dapat beradaptasi dengan situasi ini dan dapat membangkitkan motivasi kerja Gen Z dengan lebih banyak menyediakan perangkat pendukung teknologi dalam pekerjaan, maka akan membuat Gen Z semakin nyaman. Peralatan kerja pendukung dengan teknologi canggih tidak hanya untuk bekerja saja tetapi juga untuk keperluan hiburan. Misalkan akses internet di kantor dengan internet kecepatan tinggi, terdapat ruangan hiburan untuk memutar film, bermain game untuk fasilitas kerja Gen Z agar tidak bosan dan media untuk istirahat dan relaksasi. Gen Z sangat menginginkan keseimbangan hidup dan pekerjaan. Dukungan perangkat atau tools yang memudahkan Gen Z untuk membuat laporan, melaporkan pekerjaan yang tidak selalu bertatap muka tetapi cukup dengan laporan menggunakan perangkat lunak akan meningkatkan kinerja Gen Z dan fleksibilitas jam kerja tidak harus dikantor justru akan memberikan tambahan waktu kerja diluar jam kerja karena interaksi Gen Z terhadap teknologi sangat tinggi.
- Pimpinan perusahan dalam keseharian kerja harus beradaptasi untuk tidak mudah menyinggung masalah rasialis, gender, dan lebih memperlihatkan keberagaman agar tidak membuat Gen Z tidak nyaman dan menjadi tidak nyaman. Pimpinan perusahaan juga harus beradaptasi tidak lagi banyak menggunakan struktur kerja tradisional dan mengembangkan strategi komunikasi yang baik karena Gen Z buruk dalam komunikasi interpersonal. Komunikasi banyak menggunakan media teknologi seperti instant messaging, voice noted, video conference yang mungkin kapanpun dapat malah diterima oleh Gen Z dibandingkan menyuruh mereka harus dapat bertatap muka atau ke kantor hanya untuk berbicara singkat yang dapat dilakukan melalui jaringan komunikasi berbasis teknologi, terkecuali rapat bulanan, rapat mingguan yang harus hadir bertatap muka.
Penyesuaian dua arah ini penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif. Gen Z, dengan karakteristik uniknya, dapat mendorong inovasi dan perubahan positif dalam organisasi. Namun, tanpa penyesuaian dari kedua belah pihak, potensi konflik dan ketidakpuasan dapat meningkat. Perusahaan yang berhasil menyesuaikan diri dengan Gen Z cenderung melihat peningkatan dalam retensi karyawan, kepuasan kerja, dan produktivitas. Aritnya jika perusahaan dapat memanfaatkan dan beradaptasi dengan ciri dan kelebihan Gen Z makan produktivitas perusahaan akan meningkat.
Pembahasan dalam konteks Teori Adaptasi Budaya ini dapat dilihat sebagai proses dinamis di mana kedua belah pihak belajar dan beradaptasi satu sama lain. Ini bukan hanya tentang mengubah kebijakan atau praktik, tetapi juga tentang membangun hubungan yang saling menghormati dan memahami. Dengan demikian, baik Gen Z maupun perusahaan perlu berkomitmen untuk beradaptasi dan berkembang bersama.
Daftar Pustaka
Kim, Y. (2001). Becoming Intercultural: An Integrative Theory of Communication and Cross-Cultural Adaptation. New York: Sage Publications.
Seemiller, C. &. (2016). Generation Z Goes to College. San Francisco: A Wiley Brand.
Stillman, D. &. (2017). Gen Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace. New York: Harper Collins.
Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy–and Completely Unprepared for Adulthood–and What That Means for the Rest of Us. New York: Atria.
Penulis: Danny Kunto Wibisono*
*)Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi – Universitas Al-Azhar Indonesia