Bacaini.ID, BLITAR – Pabrik Gula PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Kabupaten Blitar Jawa Timur menggelar tradisi manten tebu sebagai penanda musim giling tahun 2025 dimulai.
Pada tahun ini target giling PT RMI mencapai 1,4 juta ton dengan rendemen 9,05%, meningkat lebih besar dari tahun sebelumnya 1,1 juta ton dengan rendemen 9%.
Pabrik gula dalam sejarahnya merupakan skema bisnis warisan pemerintah kolonial Belanda yang dipertahankan dan bahkan diremajakan hingga kini.
Dalam analisis ekonomi sosialisme, penguasaan modal dalam bisnis pabrik gula tidak pernah berubah: dari kapitalisme asing beralih ke tangan kapitalisme bumiputera.
Gula-gula yang diproduksi menangguk untung ekonomi yang menjulang, namun hancurnya hutan akibat peralihan fungsi menjadi ladang tebu tidak pernah menjadi perhatian utama.
Penyebab utama sedimentasi di waduk Lodoyo dan Wlingi di Kabupaten Blitar merupakan imbas beralihnya fungsi hutan menjadi ladang tebu. Tebu-tebu untuk memenuhi kebutuhan giling pabrik gula.
Peralihan kawasan hutan menjadi ladang tebu juga mendatangkan ancaman longsor dan banjir di setiap musim penghujan.
Rakyat di sekitar pabrik gula hanya mendapat hiburan perayaan tradisi manten tebu. Sementara kerusakan jalan masyarakat akibat truk pengangkut tebu diabaikan.
Sejarah pabrik gula diketahui berawal dari diberlakukannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830, tepatnya pasca Perang Jawa (1825-1830).
Rakyat, terutama di Pulau Jawa dipaksa menanam tanaman kebutuhan ekspor di Eropa, terutama tebu.
Dari sumber literasi yang dihimpun, salah satu pusat produksi gula terbesar berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti di wilayah Kediri, Klaten, Madiun, dan Pasuruan.
Pabrik gula menjadi simbol kekuatan ekonomi kolonial karena mengisi kas negara yang kosong sekaligus pusat eksploitasi (penghisapan) buruh secara besar-besaran.
Buruh pabrik gula dipaksa bekerja 12-16 jam per hari dengan upah yang sangat rendah. Bahkan tidak jarang mendapat kekerasan fisik lantaran dianggap kurang produktif.
Laporan Residen Kediri pada 1862 menyebut buruh bekerja hingga subuh dan hanya mendapatkan makanan kasar. Anak-anak dan perempuan dilibatkan pada musim giling.
Dalam sistem tanam paksa kolonial Belanda, kaum petani wajib menyerahkan 20% dari tanah mereka untuk ditanami tebu.
Mereka yang tak punya tanah mengganti dengan kerja paksa di ladang atau di pabrik milik pemerintah atau swasta.
Akibatnya pada tahun 1840-1850-an terjadi bencana kelaparan di wilayah Jawa karena sebagian besar lahan tidak digunakan untuk tanaman pangan.
Pada 1870 sistem tanam paksa resmi dihapus dan di mana pabrik gula dikelola oleh perusahaan swasta. Namun sistem kerja bergaji tetap eksploitatif.
Perusahaan-perusahaan seperti Nederlandsch-Indische Suiker Unie (NISU) tetap menekan buruh dengan jam kerja panjang, kondisi kerja tak layak, dan upah yang rendah.
Kekejaman pabrik gula di era pemerintah Hindia Belanda menjadi salah satu contoh eksploitasi kolonial yang sistemik dan meluas.
Begitulah rekam jejak sejarah hitam pabrik gula di Indonesia, khususnya di Jawa.
Penulis: Solichan Arif