Bacaini.ID, BLITAR – Hari ke-37 usai menjalani tirakat tapa ngelowong selama 36 hari Eyang Djugo atau Mbah Djugo berjalan keluar dari padepokannya di lereng Gunung Kawi Malang.
Tapa ngelowong adalah laku tirakat masyarakat Jawa lama. Tidak makan dan minum dan hanya menghirup udara alam semesta.
Hari itu Minggu Legi tahun 1879, bulan Selo dalam penanggalan Jawa.
Diiringi Raden Mas Iman Sudjono, putra angkatnya dan sejumlah cantrik padepokan, Mbah Djugo berjalan menuju sebuah liang lahat.
Liang berlokasi tidak jauh dari padepokan itu konon sudah disiapkan 7 tahun silam. Digali dengan tangannya sendiri.
Mbah Djugo kemudian masuk ke dalamnya. Dikisahkan dalam buku Riwayat Ejang Djugo Panembahan Gunung Kawi, ia duduk bersila memejamkan mata.
Tidak berlangsung lama ajal menjemputnya. Mbah Djugo tutup usia
Tabib Sakti
Pada tahun 1870, sebelum Mbah Djugo tutup usia, wabah penyakit kolera melanda sebagian besar penduduk pulau Jawa. Kematian terjadi di mana-mana.
Tidak terkecuali di Desa Djugo atau Jugo Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Orang Jawa menyebutnya masa pagebluk
Sejarawan Susan Blackburn menyebut wabah kolera pecah di Hindia Belanda mulai tahun 1820.
Pada situasi genting itu muncul seorang laki-laki tua di Desa Djugo yang kemudian dikenal dengan nama Mbah Djugo.
Laki-laki dengan perawakan jangkung, berbadan kurus, kulit terang kemerahan seolah banyak tersiram matahari.
Ia memiliki kumis dan jenggot yang panjang serta daun telinga yang mencuri perhatian lantaran terlihat lebih besar.
Kehadiran Mbah Djugo disambut warga desa dengan antusias. Warga menghiba pengobatan dan perlindungannya.
“Ketika menampak kedatangannya, penduduk Desa Djugo memburu dengan menangis sebagai anak-anak melihat ibunya datang dari bepergian jauh,” demikian dikutip dari buku Riwayat Ejang Djugo Panembahan Gunung Kawi.
Mbah Djugo muncul dari arah hutan. Ia berjalan ke arah kandang sapi yang sudah tidak terpakai dan berhenti di sana.
“Hayo, siapa yang sakit boleh datang kemari, yang tidak bisa jalan boleh suruhan orang saja membawa air di botol atau bumbung. Nanti kuberi obat supaya waras kembali,” selorohnya.
Wadah-wadah berisi air yang dibawa warga dikumpulkan di depannya. Ada cangkir, kelowoh dan bumbung.
Mbah Djugo hanya diam dengan pandangan terarah pada semua wadah air. Tak lama kemudian air itu dimintanya untuk dibawa pulang.
Diminumkan kepada yang sakit. Atau dioleskan pada bagian tubuh yang sakit. Banyak warga yang merasa sembuh, sehat seperti sedia kala.
Kabar tentang tabib sakti bernama Mbah Djugo dalam sekejap menyebar ke desa lain sampai wilayah Sumberpucung dan Kepanjen (Kabupaten Malang).
Kabar juga menyebar ke wilayah Wlingi hingga Kota Blitar. Tidak lama kemudian wabah kolera yang terjadi di wilayah Blitar, Malang hingga Kediri, termasuk pesisir pantai selatan berakhir.
Bupati Blitar beri hadiah
Kabar tentang tabib sakti Mbah Djugo sampai ke telinga Bupati Blitar Kanjeng Pangeran Warsokusumo.
Bupati memberinya hadiah sebidang tanah bebas pajak di Desa Djugo yang oleh Mbah Djugo kemudian didirikan rumah dan jadi padepokan.
Pemberian hadiah sebagai wujud terima kasih bupati lantaran banyak warga Blitar yang telah diselamatkan dari wabah kolera.
Padepokan Mbah Djugo di Desa Djugo Kesamben banyak didatangi penduduk yang hendak berobat, mulai rakyat jelata hingga golongan para priyayi.
Pada tahun 1876, Mbah Djugo memutuskan meninggalkan padepokan dan pindah ke lereng Gunung Kawi, wilayah Kabupaten Malang.
Ia kembali mendirikan padepokan. Setelah meninggal di lereng Gunung Kawi tahun 1879, amaliyah (laku) Mbah Djugo dilanjutkan Iman Sudjono, putra angkatnya, keturunan bangsawan Kerajaan Mataram.
Makam Iman Sudjono berdampingan dengan makam Mbah Djugo yang setiap hari Jumat Legi selalu dibanjiri peziarah dari mana-mana.
Hingga kini tidak ada yang tahu persis asal Mbah Djugo. Orang Tionghoa lebih suka memanggilnya Thay Lo Su yang berarti Kiai Guru Tua.
Sedangkan Mbah Iman Sudjono dipanggil Djie Lo Su yang berarti Kiai Guru yang kedua.
Penulis: Solichan Arif