Bacaini.id, MALANG – Warga Desa Gunungsari, Kota Batu, menyebutnya Ladu. Jajanan jadul ini dijumpai hanya pada momen spesial, terutama pada bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri.
Jajanan tersebut dibuat sendiri oleh warga Desa Gunungsari, salah satunya Ratih Rohali. Perempuan 39 tahun itu mengatakan tidak hanya dirinya, bahkan hampir setiap warga selalu membuat kue ladu saat bulan Ramadan.
Kue ladu yang dibuat warga nantinya akan menjadi suguhan saat hari raya Idul Fitri. Praktis, jajanan jadul ini akan selalu ada di meja ruang tamu di setiap rumah warga desa yang terletak di bawah kaki Gunung Banyak Paralayang itu.
Bagi masyarakat Kota Batu, khususnya Desa Gunungsari, sensasi rasa kue ladu akan membuat penikmatnya bernostalgia. Nama Ladu sendiri merupakan akronim dari Langgeng Seduluran, istilah jawa yang mengandung makna mendalam yang berarti penyambung tali silaturahmi di hari yang fitri.
Sayangnya, kisah historis terkait kue ladu ini tidak bisa dilacak, mengingat generasi pertama dan kedua tetua warga di sana sudah banyak yang wafat. Alhasil, asal muasal jajanan ladu hingga saat ini belum dapat diketahui.
“Asalnya seperti apa saya tidak tahu pasti, yang jelas ini sudah jadi tradisi. Setiap bulan Ramadan, warga di sini selalu bikin kue ladu sekaligus untuk jajan lebaran,” kata Ratih kepada Bacaini.id, Rabu, 27 April 2022.
Ratih menjelaskan, kue ladu terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan gula pasir. Kue ladu buatan warga Gunungsari masih dibuat dengan cara tradisional. Mulai dari beras ketan yang ditumbuk menggunakan lumpang hingga halus dan menjadi adonan kemudian dipanggang hingga matang dengan sempurna.
Bentuk kue ladu sendiri cukup lucu, seperti bantalan yang menggelembung. Saat digigit, akan terasa sensasi pecah di mulut berpadu dengan tekstur lembut dan manisnya gula pasir.
Ratih dan suaminya mengaku termasuk salah satu warga yang beruntung, karena masih bisa mewarisi resep kue ladu dari ibunya. Hingga kini mereka dapat menjadikan kue ini sebagai ladang bisnis, terutama pada momen lebaran.
Menurut Ratih, kue ladu sekarang sudah terbilang cukup langka karena hanya bisa ditemukan pada momen-momen tertentu. Selain itu, generasi pembuat kue ladu perlahan juga mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman.
”Sekarang sudah jarang yang bikin kue ladu, karena memang prosesnya memakan waktu lama. Untuk membuat adonan itu biasanya butuh proses sampai empat hari, mulai menumbuk, jadi adonan hingga dipanggang menggunakan oven,” terangnya.
Hampir setiap hari, Ratih bersama dengan enam orang karyawannya yang merupakan tetangga sekitar rumahnya bisa memproduksi 30 sampai 50 ton kue ladu. Hasil produksi tersebut dikirim ke sejumlah toko oleh-oleh dan warung di wilayah Malang Raya, Sidoarjo juga Jombang.
Ratih berharap, kue ladu khas Kota Apel ini bisa semakin dikenal khalayak luas. Menurutnya, sejauh ini, kue ladu masih terbilang belum populer di telinga wisatawan.
“Kalau dikenal banyak orang kan juga bisa sekaligus jadi tambahan penghasilan warga, khususnya ibu-ibu di sini,” harap Ratih.
Penulis: A.Ulul
Editor: Novira