Bacaini.ID, KEDIRI – Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya tengah menghadapi badai politik internal. Desakan mundur dari Syuriyah PBNU yang dipimpin Rais Aam KH Miftachul Akhyar, menjadi ujian terberat sejak ia terpilih pada Muktamar NU ke-34 di Lampung tahun 2021.
Nahdlatul Ulama bukan sekadar organisasi keagamaan. NU adalah organisasi Islam terbesar di dunia, dengan jutaan pengikut di Indonesia. Sejak berdiri pada 1926, NU selalu berada di persimpangan antara menjaga tradisi Ahlussunnah wal Jamaah dan merespons tantangan modernitas.
Syuriyah berperan sebagai penjaga ideologi dan otoritas keagamaan. Sedangkan Tanfidziyah menjalankan roda organisasi secara praktis dan administratif.
Ketegangan antara keduanya bukan hal baru. Namun, kasus tuntutan mundur terhadap Gus Yahya menunjukkan bahwa perbedaan visi kini mencapai titik kritis.
Pemicu Polemik
Program AKN NU yang digagas Gus Yahya menjadi salah satu sumber kontroversi. Syuriyah menilai ada narasumber yang dikaitkan dengan jaringan Zionisme Internasional, dianggap bertentangan dengan prinsip NU. Selain itu, program ini dinilai tidak selaras dengan muqaddimah Qanun Asasi NU, dokumen ideologis yang menjadi fondasi organisasi.
Bagi Gus Yahya, AKN NU adalah upaya modernisasi kepemimpinan NU agar mampu menghadapi tantangan global. Namun bagi Syuriyah, langkah itu berisiko mengaburkan identitas NU sebagai benteng tradisi Islam Nusantara.
Profil Gus Yahya
Gus Yahya lahir di Rembang, Jawa Tengah, dari keluarga pesantren yang sangat berpengaruh. Ia adalah kakak dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Sebelum menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Yahya dikenal sebagai intelektual Muslim yang aktif dalam dialog lintas agama dan hubungan internasional.
Gus Yahya pernah menjadi juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia aktif dalam forum-forum global, termasuk membicarakan isu toleransi dan perdamaian.
Posisinya sering dianggap sebagai representasi NU yang terbuka terhadap dunia internasional.
Namun keterbukaan itu kini menjadi bumerang, karena sebagian kalangan NU menilai Gus Yahya terlalu jauh melangkah.
Implikasi Politik dan Sosial
NU bukan hanya organisasi keagamaan, tetapi juga memiliki pengaruh besar dalam politik Indonesia. Krisis kepemimpinan di PBNU bisa berdampak pada soliditas internal NU, terutama menjelang agenda politik nasional.
Konflik ini juga akan mengganggu hubungan NU dengan pemerintah, mengingat banyak kader NU menduduki posisi strategis. Selain itu, citra NU di mata publik sebagai organisasi yang solid akan hilang terpecah oleh konflik internal.
Desakan mundur terhadap Gus Yahya bukan sekadar persoalan jabatan, melainkan pertarungan ideologi dan arah masa depan NU. Apakah NU akan tetap teguh menjaga tradisi, atau berani membuka diri terhadap arus globalisasi?
Penulis: Hari Tri Wasono





