Bacaini.id, KEDIRI – Kenikmatan kopi Wilis sudah diakui penikmat kopi nusantara. Berjenis Robusta yang hidup di lereng Gunung Wilis, kopi Wilis memiliki cita rasa yang tajam khas pegunungan.
Tak heran jika sebagian café di Kediri mencantumkan kopi Wilis dalam deretan menu unggulan mereka. Tak kalah dengan kopi Robusta Temanggung ataupun jenis Arabica yang memiliki segmen khusus.
Namun tahukah kamu di balik nikmatnya secangkir kopi Wilis yang diseduh tiap pagi, terdapat kucuran peluh pemetik kopi. Tanpa mengenal waktu, mereka mendaki lereng Gunung Wilis yang curam untuk mencapai biji kopi Wilis yang masak.
Menjadi pemetik kopi bukan termasuk pekerjaan yang menyenangkan. Mendaki gunung dan memikul keranjang menjadi konesekuensi setiap hari. Belum lagi jika batang tanaman yang diincar berada di tepi tebing yang curam.
Resiko inilah yang diambil Umi Niyati, pemetik kopi di kawasan air terjun Irenggolo, Desa Besuki, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. Di usianya yang menginjak 50 tahun, Umi tak berhenti mendaki demi mendapatkan biji-biji kopi. “Tanaman ini peninggalan mendiang suami saya,” kata Umi Niyati kepada Bacaini.id.
Umi tengah memetik biji kopi Wilis saat ditemui Bacaini.id, Senin petang, 14 Juni 2021. Udara sore itu cukup dingin hingga menusuk tulang. Belum lagi kabut pekat yang tak pernah hilang mulai pagi hingga malam hari di kawasan Irenggolo.
Mengenakan kaos lengan pendek tanpa jaket, perempuan paruh baya itu naik turun menyusuri jalan setapak Gunung Wilis. Tangannya yang mulai keriput menjumputi biji-biji kopi yang telah masak dan berwarna merah. “Hanya biji kopi yang sudah masak yang boleh dipetik, itu pesan suami saya,” katanya.
Meski terlihat mudah, memetik biji kopi memiliki aturan tertentu. Jika tak telaten memetik satu per satu, biji kopi yang hijau akan ikut terambil. Jika digiling, biji kopi muda itu akan mempengaruhi cita rasa kopi menjadi pahit.
Selain kehati-hatian dalam memetik biji kopi, kondisi lereng Gunung Wilis yang licin dan basah menjadi kendala bagi Umi Niyati. Jika salah melangkah dan tergelincir, tubuh rentanya akan terperosok ke bawah.
Umi menuturkan aktivitas memetik kopi ini sudah dilakukan sejak lama bersama mendiang suaminya. Aktivitas itu menjadi hiburan di sela menjaga warung makannya di area Irenggolo dengan nama Warung Giras. Bagi pecinta kuliner dan wisata, Warung Giras cukup terkenal dengan menu andalan tiwul goreng dan oseng pakis.
Beruntung lokasi areal kopi yang mereka tanam tak begitu jauh dari warung. Luasnya mencapai setengah hektar dan membutuhkan tenaga khusus untuk merawatnya. Terutama menjaganya dari serangan hama kopi seperti semut hitam.
Kopi yang dipetik ini dijual dan dipasarkan kepada masyarakat sekitar dan kafe di Kediri, khususnya wilayah Besuki. Selain Robusta, Umi juga mulai mencoba menanam kopi Arabica.
“Alhamdulillah sampai saat ini masih jalan, sertifikat dan ijin juga sudah ada. Hanya pandemi kemarin produksi agak berkurang, tapi masih ada pesanan. Kadang ada yang memesan untuk dikirim ke luar negeri,” katanya.
Umi menjual kopi miliknya dalam dua jenis, yakni berbentuk bubuk dan biji. Bubuk kopi Robusta dijual dengan harga Rp 85 ribu per kilogram, bubuk kopi Arabica dibanderol Rp 160 ribu per kilogram, dan bubuk kopi Lanang Rp 450 ribu per kilogram. Kopi tersebut diberi label Kopi Ayu Putri Wilis.
Untuk urusan ini Umi tak bekerja sendirian. Dia dibantu dua anaknya yang tinggal tidak jauh dari rumah untuk mengolah dan memasarkan.
“Yang menjadi favorit itu kopi Robusta. Kopi khas Wilis ini berbeda dengan lainnya terutama rasanya. Kalau Robusta rasanya kuat dan pahit, kadang ada yang agak asam. Wilis pahitnya khas, gak ada kecutnya juga gurih,” papar Umi.
Kini di usianya yang senja Umi Niyati bertekad merawat tanaman kopi peninggalan suaminya hingga akhir nanti. Sebagai perempuan asli Besuki, Umi tak gentar sedikitpun menghadapi kerasnya hidup. “Suami saya tidak hanya meninggalkan warung dan kebun, tapi juga ilmu untuk terus bertahan hidup,” pungkasnya.
Penulis: Novira Kharisma
Editor: HTW
Tonton video: