Bacaini.id, KEDIRI – Sebagai kabupaten tertua nomor dua di Jawa Timur, Kabupaten Kediri menyimpan banyak sejarah. Salah satunya adalah warisan kuliner peninggalan leluhur yang masih ditemukan hingga sekarang, yakni getuk pisang.
Sesuai namanya, getuk pisang adalah makanan berbahan dasar pisang. Hampir seluruh produksinya menggunakan bahan dari pohon pisang. Buahnya untuk pembuatan getuk, sedangkan daunnya sebagai pembungkus.
Makanan ini paling banyak ditemukan di toko wilayah Kediri sebagai makanan khas, bersanding dengan tahu takwa (tahu kuning). Rasanya yang legit dengan tekstur lembut menjadikan getuk pisang makanan favorit para pelancong.
Baca ini Program Kak Wulan Sukses Bentuk Klasterisasi Petani Mawar di Nganjuk
Sejarah Getuk Pisang
Di balik keunikan rasanya, siapa sangka jika getuk pisang muncul akibat masa penjajahan Jepang yang kelam. Masyarakat Kediri yang saat itu berada di bawah invasi tentara Nippon, diterpa kesulitan ekonomi. Keterbatasan bahan makanan membuat warga mengalami krisis pangan.
Saat itulah muncul ide menjadikan buah pisang sebagai alternatif makanan pengganti beras. “Kebetulan di sepanjang bantaran Sungai Brantas banyak terdapat pohon pisang jenis raja nangka yang ukuran buahnya cukup besar,” kata Imam Mubarok, Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri kepada Bacaini.id, Minggu, 19 Mei 2024.
Menggunakan loyang batu, pisang tersebut ditumbuk hingga halus untuk diolah menjadi getuk. Bentuknya pun tak beraturan. Komposisi lonjong yang dibalut daun pisang muncul setelah warga etnis Tionghoa menjadikannya komoditas jualan bersama tahu takwa.
Mulai Punah
Keunikan dan keaslian getuk pisang sebagai makanan khas Kediri ini sayangnya tak diimbangi dengan pertumbuhan pelaku usaha di sektor hulu. Meski banyak peminat, jumlah pembuat getuk pisang yang bertahan bisa dihitung dengan jari.
Alasannya sama, mereka tak mampu menjaga kelangsungan usaha akibat keterbatasan modal. Kalaupun ada, penerapan tata kelola usaha yang masih tradisional membuat usaha mereka gulung tikar.
Baca ini PNM Mekaar Membangun Ekonomi Dengan Tradisi
“Biasanya pemberi pinjaman hanya memberi uang. Tapi karena tak pandai mengelola, akhirnya gulung tikar dan menyisakan hutang,” kata Mudrikah, pembuat getuk pisang di Desa Keniten, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang telah memulai usaha pembuatan getuk pisang sejak tahun 2010.
Hal ini membuat populasi pembuat getuk pisang secara perlahan terus menurun. Minimnya pendampingan kepada mereka turut menyumbang keterpurukan bisnis warisan ini.
Pinjaman Tanpa Agunan
Harapan Mudrikah untuk mempertahankan warisan leluhur muncul saat bertemu dengan lembaga pembiayaan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Ia sempat tak percaya jika ada lembaga yang memberi pinjaman tanpa agunan sama sekali.
“Syaratnya mudah, cukup KTP dan tanpa jaminan. Pertama pinjam dua juta untuk modal, selanjutnya mulai naik. Program ini sangat membantu karena bunganya juga ringan, ” kata Mudrikah yang tercatat menjadi nasabah PNM sejak tahun 2016.
Hal yang tidak ia dapati dari program pembiayaan lain adalah adanya pendampingan. Bukan saja memberi modal, PNM juga memberi pendampingan usaha mulai tahap produksi hingga pengelolaan bisnisnya.
Berkat ketekunan dan kegigihannya, Mudrikah berhasil membangun industri getuk pisangnya secara mandiri. Saat ini ia telah memiliki empat orang karyawan yang membantunya membuat getuk pisang.
“Alhamdulillah sudah bisa mempekerjakan empat karyawan dari tetangga. Penjualan kami juga telah mencapai Pandaan, Jombang, hingga Malang,” kata Mudrikah yang memberi nama label produknya Getuk Pisang Decha.
Kapasitas produksinya juga tembus 1.500 bungkus per hari. Jumlah yang fantastis untuk skala usaha rumahan.
Baca ini Cerita Dewi Pengusaha Jamu Bekasi Yang Berkibar Berkat Pinjam PNM Mekaar
Sebagai pebisnis yang merintis dari nol, Mudrikah merasakan kehadiran PNM Mekaar sangat membantu usahanya. “Cicilannya bisa dilakukan seminggu sekali, sehingga terasa ringan karena tiap hari kami dapat mengumpulkan omzet,” katanya.
Ia berharap program pembiayaan PNM Mekaar ini bisa dinikmati banyak orang, sehingga pertumbuhan usaha menengah bawah bisa merata.
Penulis: A.K. Jatmiko
Fotografer: A.K. Jatmiko
Editor: Hari Tri Wasono
Comments 2