Bacaini.id, KEDIRI – Kisah Maling Gentiri atau Ki Boncolono di alam fikiran masyarakat Kediri Jawa Timur hidup di antara batas fakta dan fiksi. Sepak terjang Maling Gentiri muncul di tengah situasi penindasan rakyat oleh kolonial Belanda bertengger di puncak.
Antek-antek kompeni Belanda diusiknya. Pengiriman barang-barang milik Belanda dijarahnya. Rumah-rumah para demang, priyayi dan orang-orang kaya yang menjadi kaki tangan Belanda, disatroninya.
Maling Gentiri hadir di tengah kesibukan pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan sistem tanam paksa. Belanda sedang sibuk menstabilkan kas negara yang berdarah-darah pasca Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).
Kas yang bangkrut itu berusaha diisi dengan cara yang cepat, yakni tanam paksa. Sistem tanam paksa membuka perkebunan kopi, teh, tembakau seluas-luasnya. Kemudian juga membangun jalan kereta api dan jembatan sebagai akses utama.
Praktik tanam paksa berlangsung menindas. Hak-hak petani dan buruh perkebunan yang sebagian besar orang-orang pribumi, dirampas. Rakyat jelata diperlakukan dengan semena-mena.
Dilansir dari buku Wali Berandal Tanah Jawa, Maling Gentiri yang murka dengan itu semua melawan dengan caranya sendiri. Di tengah situasi penindasan ia juga melihat betapa ketimpangan gaji priyayi dan upah buruh begitu parah.
Pada tahun 1891seorang bupati menerima gaji f600 sebulan. Penewu dan mantri masing-masing menerima f50 dan f35. Selain gaji, bupati masih menerima tanah apanage. Sementara buruh hanya diupah 12,5 sen dan diberi makan sekali.
Situasi yang mendorong berandal budiman memutuskan untuk melawan. “Wong cilik hanya makan nasi dan lauk gereh dan uang pun tidak pernah ada di tangan,” demikian yang tertulis dalam Bandit-bandit Pedesaan di Jawa, Studi Historis 1850-1942 (1993).
Sebagai fakta, jejak Maling Gentiri ditemukan di atas bukit Maskumambang Kota Kediri. Sebuah situs di atas bukit diyakini sebagai makam Maling Gentiri. Sejak tahun 2004, akses menuju situs dibangun, yakni diubah menjadi jalan beton.
Ada sebanyak 555 anak tangga lengkap dengan pegangan besi panjang hingga ke puncak bukit. Sebuah prasasti terlihat di sebelah gapura pintu masuk. Prasasti yang ada merupakan peringatan penyerahan situs Maling Gentiri kepada Pemerintah Kota Kediri.
Dalam Wali Berandal Tanah Jawa, Japto Soerjosoemarno selaku kepala keluarga besar Maling Gentiri, menandatangani prasasti itu. Japto merupakan petinggi ormas Pemuda Pancasila (PP).
“Pak Japto adalah keturunan Boncolono angkatan ketujuh,” ujar Heri Suworo juru kunci situs Maling Gentiri seperti dikutip dari Wali Berandal Tanah Jawa.
Maling Gentiri dicintai rakyat jelata, khususnya di Kediri. Ia tidak pernah bernafsu menguasai hasil jarahannya. Sebagian besar harta benda para antek kompeni Belanda ia bagi-bagikan kepada rakyat jelata yang tertindas.
Yang dilakukan Maling Gentiri serupa dengan aksi penjarahan Maling Aguno di Blitar, Maling Cluring di Jombang, dan Berandal Lokajaya di Tuban. Serupa juga dengan Robin Hood di Inggris, Diego Carrientes di Spanyol atau Janosik di Slovakia.
Aksi perbanditan Maling Gentiri merupakan resistensi terhadap kemiskinan, tekanan pajak, kerja wajib dan tekanan sosio politik. Meski cukup meresahkan kaki tangan kompeni, aksi Maling Gentiri digolongkan resistensi individu.
Dikutip dari Perlawanan Kaum Tani, yang dilakukan Maling Gentiri atau maling budiman itu tidak memiliki organisasi formal. Aksi yang dilakukan hanya sebatas mengusik. “Mereka tidak mempunyai pendukung yang secara terbuka bersedia memikul tanggung jawabnya”.
Kendati demikian gangguan ekonomi yang berlangsung berkali-kali itu pada akhirnya membuat kompeni Belanda jengkel dan merasa terganggu. Belanda kemudian memutuskan untuk mengakhiri sepak terjang Maling Gentiri.
Namun meringkus Maling Gentiri bukan pekerjaan yang mudah, apalagi membunuhnya. Konon, ajian rawa rontek atau pancasona melindunginya dari ajal. Setiap dibunuh, Maling Gentiri tiba-tiba hidup kembali ketika bagian tubuhnya menyentuh tanah.
Kompeni Belanda penasaran. Dengan tawaran hadiah yang menggiurkan, dikumpulkannya para jawara pribumi, guna mencari tahu rahasia kematian Maling Gentiri, dan terungkap. Maling Gentiri bisa mati asal kepala dan badannya dipisah, yakni diletakkan di tempat berbeda yang dipisahkan oleh Sungai Brantas.
“Situs di atas bukit Maskumambang diyakini sebagai makam tubuh Maling Gentiri,” demikian cerita yang diyakini masyarakat Kediri.
Lantas di mana kepala Maling Gentiri diletakkan? Sebuah tempat di jalan Joyoboyo Kota Kediri. Lokasi yang berada pada sisi timur Sungai Branta situ diyakini sebagai makam kepala Maling Gentiri. Masyarakat Kediri menyebut situs itu dengan nama Punden Ringin Sirah.
Serupa dengan situs di bukit Maskumambang yang berada di barat Sungai Brantas. Pada hari-hari tertentu banyak peziarah yang mendatanginya, dan itu terus berlangsung hingga sekarang.
Dalam Wali Berandal Tanah Jawa disebutkan, pemisahan kepala dan tubuh Maling Gentiri merupakan simbol dari cara kolonial Belanda melumpuhkan perlawanan rakyat, yakni khususnya di Kediri.
Saat Belanda memenggal kepala Maling Gentiri dan kemudian menanamnya di dua tempat yang dipisahkan Sungai Brantas, diterjemahkan seolah-olah telah memisahkan pemimpin rakyat (kepala) dari pengikutnya (badan). “Dengan cara begitu mereka melumpuhkan rakyat Indonesia”.
Penulis: Solichan Arif