Bacaini.id, KEDIRI – Lahir dari keluarga perantau asal Tiongkok pada 9 Februari 1950, Kwok Kwie Fo alias A Kwie hidup dalam keterbatasan. Tak ada gambaran sama sekali jika kelak pria bernama pribumi Djoko Susanto itu akan menjadi taipan pemilik ritel raksasa.
Dikutip dari Buku Dari Warung Menuju Alfamart, Perjalanan Inspiratif Djoko Susanto Mendayung Bisnis Ritel yang ditulis Alberthiene Endah, masa kanak-kanak hingga remaja A Kwie cukup keras. Ibunya Wong Sat Nyang sampai-sampai menjahitkan baju dari bahan blacu pembagian tentara Jepang untuk anaknya. A Kwie adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara.
Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana dengan kombinasi tembok dan bilik bambu di Jalan Persatuan Guru Nomor 39 Kawasan Petojo. Sumber penghasilan mereka adalah kios sederhana yang dibuka di teras rumah. Profesi yang banyak ditekuni perantau Tiongkok di Indonesia.
Kondisi itu mempengaruhi kepercayaan diri A Kwie dalam bergaul, terutama kepada lawan jenis. “A Kwie, kau tunggu apa lagi. Pekerjaan sudah ada, kau juga punya sepeda, apa lagi yang ditunggu untuk mencari pacar,” ledek teman-temannya di perakitan radio merek Oscar tempatnya bekerja tahun 1968.
Punya pekerjaan dan sepeda adalah modal dasar untuk mencari pacar. Muda-mudi yang punya pasangan akan membonceng pacar masing-masing ke Pasar Minggu atau Bogor. Hal yang tak bisa dilakukan A Kwie.
Dia terlalu takut jika perempuan yang didekati akan menanyakan kondisi keuangannya. A Kwie juga khawatir pacarnya akan mengajukan banyak permintaan. Hal itulah yang membuatnya bertahan untuk melajang.
Sampai suatu saat A Kwie melihat seorang gadis yang bekerja di Divisi Perakitan Batu Baterei tempatnya bekerja. Di divisi itu pekerjaan yang dilakukan macam-maca. Mulai menjadi tukang sorder, menguji resistor atau kapasitor, hingga mengemas radio.
“Di sanalah saya melihat gadis itu. Tenggelam di antara radio-radio yang telah jadi dan siap diuji,” kata A Kwie.
Gadis itu tidak terlampau cantik. Juga tidak atraktif. Namun diamnya itulah yang membuat A Kwie penasaran. “Kami hanya bertatapan satu detik, selanjutnya dia kembali tekun mengerjakan tugasnya. Tak menoleh lagi,” lanjut A Kwie.
Gadis itu adalah Tan Lie Tjen, gadis tukang colok kabel penguji radio. Makin hari ketertarikan A Kwie kepada Tan Lie makin besar. Setiap selesai kerja A Kwie bergegas keluar dan menuntun sepedanya. Berdiri di jalan masuk keluar pabrik demi melihat Tan Lie pulang.
Sayang upaya itu bertepuk sebelah tangan. Tan Lie tetap cuek dan berjalan menuju arah pulang. Meninggalkan A Kwie yang mematung sendirian.
Hingga suatu hari keberanian A Kwie menggumpal untuk menawarkan mengantar pulang. “Mau pulang bareng? Saya bisa memboncengimu,” katanya.
Lie Tjen tersenyum dan mengangguk. Itulah momen saat A Kwie seperti mendapat bongkahan emas. Malam itu A Kwie mengayuh sepeda kuat-kuat.
Tahun 1968 menjadi tahun yang penting bagi kehidupan A Kwie. Dimana dia mendapat dua hal sekaligus, pengalaman bekerja dan cinta.
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video: