Bacaini.ID, KEDIRI— Dunia seni pedalangan Indonesia berduka. Ki Ageng H. Anom Suroto Lebdo Nagoro, atau yang akrab dikenal sebagai Ki Anom Suroto, meninggal dunia pada Kamis pagi pukul 07.00 WIB di Rumah Sakit dr. Oen Kandang Sapi, Solo.
Dalang kondang tanah air ini menghembuskan nafas terakhir setelah menjalani perawatan intensif selama lima hari akibat komplikasi jantung. Ki Anom Suroto wafat pada usia 77 tahun, meninggalkan seorang istri, delapan anak, dan 18 cucu.
Jenazahnya disemayamkan di Kebon Seni Timasan, Makamhaji, Kartasura, sebelum dimakamkan di Makam Depokan Juwiring, Klaten, pada Kamis Pon sore pukul 15.00 WIB.
Lahir dari Tradisi, Tumbuh Menjadi Maestro
Ki Anom Suroto lahir pada 11 Agustus 1948 di Klaten, Jawa Tengah, dari keluarga dalang. Sejak kecil, ia telah akrab dengan dunia wayang kulit dan mulai menunjukkan bakatnya dalam seni pedalangan. Kariernya melesat sejak dekade 1970-an, dikenal karena gaya penceritaan yang halus, suara yang khas, dan kemampuannya menghidupkan karakter wayang dengan penuh jiwa.
Kemampuannya mendalang tidak hanya tersohor di dalam negeri. Permainan wayang kulit Ki Anom Suroto menembus lima benua di belahan dunia untuk memperkenalkan wayang kulit di panggung internasional.
Atas dedikasinya pada kesenian tradisional, Ki Anom Suroto mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung Haryo Lebdo Nagoro dari Keraton Surakarta, sebuah pengakuan atas dedikasinya dalam melestarikan budaya Jawa.
Ia juga dikenal sebagai pelopor dalam menyisipkan isu-isu kontemporer ke dalam lakon klasik, menjadikan pertunjukan wayangnya relevan dan reflektif terhadap kondisi sosial.
Kemampuannya mendalang menurun kepada putranya, Jatmiko dan Bayu Aji Pemungkas. Mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dalang, dan menjadikan keluarga ini sebagai dinasti pedalangan modern.
Sepanjang hidupnya, Ki Anom Suroto aktif dalam pelestarian budaya Jawa. Ia mendirikan sanggar seni, membina generasi muda, dan menjadi rujukan dalam dunia pedalangan. Ia juga dikenal sebagai dalang yang mampu menjembatani tradisi dengan isu-isu kontemporer, menjadikan pertunjukan wayangnya sarat makna dan refleksi sosial.
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, rekan seniman, dan masyarakat pecinta budaya. Pemerintah daerah dan komunitas seni turut menyampaikan belasungkawa atas wafatnya tokoh besar yang telah mengharumkan nama bangsa.
Penulis: Hari Tri Wasono