Jakarta-Bacaini.ID. Duduk di kedai kopi kecil di pojokan dekat kampus Universitas Al Azhar, Finia (23), mahasiswa pascasarjana, menyeduh kopi sambil membuka Twitter di ponsel pintarnya. Setiap pagi, ritualnya bukan membaca koran atau menyalakan televisi. “Berita-berita di TV sudah bisa ditebak. Siapa punya media, dia yang menang narasinya,” ucapnya pelan. Ia bukan satu-satunya.
Finia adalah representasi dari generasi muda Indonesia yang semakin menjauh dari media konvensional. Laporan Reuters Institute menunjukkan bahwa lebih dari 68% pengguna internet di Indonesia kini memilih media sosial sebagai sumber utama berita mereka. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi ruang baru berbagi dan membentuk opini publik.
Media Dimiliki Politikus, Publik Kian Ragu
Krisis kepercayaan ini bukan muncul tanpa sebab. Sejak lama, media di Indonesia memang telah berada dalam genggaman para elite politik dan konglomerat. Metro TV dan Media Indonesia, misalnya, berada di bawah kendali Surya Paloh—ketua umum Partai NasDem. TV One dan ANTV dipegang oleh Grup Bakrie, keluarga besar Aburizal Bakrie dari Golkar. Sementara MNC Group yang membawahi RCTI, GTV, dan iNews adalah milik Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum Partai Perindo.
“Ketika pemilik media juga pemilik partai politik, independensi redaksi menjadi pertanyaan besar,” ujar Wisnu Prasetya Utomo, pengamat media dari Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, kepemilikan media oleh elite politik menciptakan konflik kepentingan yang merusak fungsi kontrol sosial media.
PHK Massal dan Penutupan Media Membuktikan Gejala Krisis yang Lebih Dalam
Tak hanya kepercayaan publik yang tergerus, industri media juga mengalami krisis ekonomi yang parah. Dalam dua tahun terakhir, gelombang PHK massal dan penutupan biro media terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Menurut data dari Dewan Pers dan laporan media nasional, lebih dari 1.200 pekerja media telah terkena PHK antara 2023 dan awal 2025. Beberapa grup media besar, seperti MNC Group dan Media Group, melakukan efisiensi besar-besaran. Delapan kantor biro daerah MNC seperti di Makassar, Bali, dan Surabaya resmi ditutup, dan ratusan jurnalis kehilangan pekerjaannya.
Nezar Patria, Wakil Menkominfo RI, menyebut fenomena ini sebagai “peringatan keras di era disrupsi digital.” Platform digital global seperti Google, Meta, dan TikTok kini menyedot hingga 75% belanja iklan nasional, membuat media lokal kehilangan sumber pendanaan utama mereka.
Bukan Lagi Penonton, Kini Jadi Produsen Informasi
Masyarakat kini tidak hanya ingin menjadi penonton pasif dari narasi-narasi besar. Di media sosial, mereka bisa menjadi produsen informasi: merekam, membagikan, bahkan mengoreksi berita yang dirasa tidak adil. Hashtag bisa mengalahkan headline.
Namun, di balik kebebasan ini terselip kekhawatiran. Banji, seorang guru SMA di Semarang, pernah tertipu oleh video hoaks yang viral di TikTok. “Saya sempat percaya karena disampaikan oleh orang yang tampak meyakinkan. Padahal isinya bohong,” katanya.
Ini menjadi paradoks media sosial: demokratis, tapi berisiko. Tanpa literasi digital yang kuat, masyarakat justru lebih mudah terseret dalam polarisasi, manipulasi informasi dan disinformasi.
Di tengah tekanan media korporasi dan platform digital, beberapa media independen mencoba bertahan. Project Multatuli, misalnya, menjadi simbol perlawanan jurnalisme yang berpihak pada publik. Tanpa konglomerat, tanpa politikus, hanya mengandalkan pembaca dan donasi komunitas.
Namun, perjuangan mereka tidak mudah. “Algoritma media sosial tidak berpihak pada liputan investigasi yang mendalam. Orang lebih tertarik dengan konten cepat dan sensasional,” ujar seorang editor dari media nirlaba itu. Disisi lain juga terjadi media bertahan dengan bantuan asing yang juga membawa dampak negatif adanya intervensi asing dan kepentingan asing yang mengancam pertahanan dan keamanan negara.
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Peraturan seperti publisher rights mulai dibahas, untuk memastikan platform digital membayar media atas konten berita yang digunakan. Tetapi belum cukup. Banyak pihak menilai bahwa regulasi yang lebih ketat mengenai kepemilikan media, insentif untuk media independen, dan literasi digital di kalangan masyarakat harus menjadi prioritas ke depan.
“Kita tidak bisa menyelamatkan demokrasi tanpa menyelamatkan medianya,” kata Nezar Patria yang disampaikan beberapa waktu lalu saat acara seminar di Surabaya.
Apa yang kita saksikan hari ini bukan sekadar peralihan dari TV ke TikTok, dari koran ke konten. Ini adalah perlawanan diam-diam publik terhadap dominasi narasi. Mereka tidak butuh media yang berpihak kepada kekuasaan. Mereka butuh media yang berpihak kepada kebenaran.
Dan selama media arus utama masih menjadi perpanjangan tangan partai politik, kepercayaan publik akan terus berpindah ke tempat lain—entah ke platform digital, jurnalisme warga, atau ruang-ruang kecil tempat orang masih berani bertanya: siapa yang sebenarnya mengendalikan informasi kita?
Begini Cara Negara-Negara Dunia Menyelamatkan Media dari Gempuran Raksasa Digital
Sementara industri media di Indonesia tengah bergulat dengan gelombang PHK, penutupan biro daerah, dan kehilangan kepercayaan publik, beberapa negara lain justru mengambil langkah progresif untuk menyelamatkan jurnalisme. Mereka tidak tinggal diam menyaksikan bagaimana Google, Meta, dan platform digital lain menguasai pangsa iklan dan mendikte algoritma distribusi berita. Mereka melawan—dengan regulasi. Apa yang mereka lakukan?
Pada tahun 2021, pemerintah Australia mengguncang dunia teknologi. Melalui News Media Bargaining Code, mereka memaksa Google dan Facebook untuk membayar media lokal atas konten berita yang muncul di platform mereka.
Tak ada yang menyangka sebelumnya bahwa dua raksasa digital itu akhirnya tunduk. Setelah tarik ulur panjang, mereka menandatangani kontrak jutaan dolar dengan media seperti News Corp, The Guardian Australia, dan ABC. Hasilnya? Media lokal di pelosok Australia kini punya napas baru.
“Bagi kami yang di daerah, ini bukan soal uang semata. Ini soal eksistensi,” kata seorang editor dari media regional di New South Wales.
Eropa juga tak mau ketinggalan. Di Prancis, negara ini menjadi pelopor penerapan EU Copyright Directive pada 2022, yang mengatur agar platform digital membayar kompensasi atas kutipan berita yang mereka tampilkan.
Google pun tidak bisa berkelit. Di bawah tekanan otoritas antimonopoli Prancis, mereka akhirnya membayar kepada media seperti Le Monde dan Le Figaro. Kebijakan ini meningkatkan kesadaran bahwa karya jurnalistik adalah kekayaan intelektual, bukan barang gratisan algoritma.
Ketika Kanada mengesahkan Online News Act (Bill C-18) tahun 2023, Meta (Facebook) merespons dengan langkah kontroversial: memblokir seluruh berita di platformnya untuk pengguna Kanada.
Namun pemerintah tak gentar. Mereka tetap mendorong regulasi yang mewajibkan platform untuk bernegosiasi dan membayar media. Proses mediasi difasilitasi oleh pemerintah, sementara otoritas komunikasi nasional, CRTC, mengawasi implementasinya.
Kini, meski terjadi ketegangan, beberapa media mulai menerima dukungan transisi dan hibah operasional. Kanada menunjukkan bahwa keberanian politik tetap bisa berdampingan dengan kebijakan yang berpihak pada jurnalisme.
Di ujung utara Eropa, Norwegia memilih jalur yang berbeda namun tak kalah penting: subsidi langsung untuk media lokal. Pemerintah memberi dukungan keuangan tahunan kepada media kecil yang memenuhi standar independensi dan distribusi konten lokal.
Bagi masyarakat di desa terpencil, ini bukan hanya tentang berita, tapi tentang eksistensi mereka di dalam narasi nasional.
“Tanpa media lokal, siapa yang akan meliput rapat desa atau pemadaman listrik di fjord?” ujar seorang jurnalis dari Tromsø. Kebijakan ini memastikan bahwa pluralisme informasi tetap hidup, tak peduli seberapa jauh lokasinya dari ibu kota.
Penulis : Danny Wibisono
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Al Azhar Indonesia