Bacaini.ID, KEDIRI – Uang dan inflasi jadi masalah serius di awal Pemerintahan Presiden Soekarno atau Bung Karno.
Sektor ekonomi jadi ‘ruang pertempuran’ Belanda atau NICA (Nederlandsch Indies Civil Administration) yang kembali masuk Indonesia dengan membonceng Sekutu.
Uang rupiah Jepang diedarkan seluas-luasnya. Jumlah uang yang beredar lebih besar dari jumlah barang yang ada di pasar.
NICA memakai tangan orang-orang pribumi yang menyediakan diri sebagai antek penjajah. Targetnya kekuasaan Presiden Soekarno tumbang.
Data Offiele bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen (1976) menyebut, total uang Jepang sebesar 4 miliar.
1,6 miliar di antaranya tersebar di Jawa. Seiring masuknya NICA sebaran uang Jepang semakin meningkat.
Uang yang beredar hasil dari Percetakan Kolff & Co, Jakarta yang dikuasai NICA. Tersimpan di percetakan sebesar 2,5 miliar.
Pasukan NICA diketahui menguasai kota besar dan bank-bank milik Jepang yang menyerah pasca Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak.
NICA memakai uang Jepang untuk pembiayaan operasi militer serta menggaji pegawai yang direkrut dari orang-orang pribumi.
Sementara karena kondisi ekonomi dan politik yang buruk, pegawai sipil maupun militer RI tidak mendapat gaji.
“Terutama (uang Jepang) untuk menarik simpati orang-orang republiken agar mau berpihak kepada Belanda,” demikian dikutip surat rahasia Kepala Kepolisian Karesidenan Malang kepada Kepala Kepolisian Negara di Yogyakarta No 444.
Belanda juga mengedarkan uang Hindia Belanda yang di masyarakat dikenal sebagai uang NICA atau uang merah.
Uang NICA dicetak American Banknote Company atas pesanan Pemerintah Kerajaan Belanda.
Manuver ini menyimpangi Undang-undang De Javasche Bank 1922.
Sebab sesuai ketentuan hanya De Javasche Bank yang berwenang mengeluarkan sekaligus mengedarkan uang di Hindia Belanda.
Soekarno melawan
Presiden Soekarno tidak tinggal diam. Ia menerbitkan maklumat 2 Oktober 1945. Mata uang Hindia Belanda dinyatakan tidak berlaku di wilayah Republik Indonesia.
Maklumat kedua terbit pada 3 Oktober 1945. Mata uang yang diakui sebagai alat transaksi yang sah uang kertas Javasche Bank keluaran tahun 1925 hingga cetakan tahun 1941.
Juga 8 pecahan uang Jepang, serta uang logam Pemerintah Hindia Belanda sebelum tahun 1942. Pemerintah melakukan pembatasan.
Rakyat kompak menindaklanjuti dengan menggelar aksi menolak uang NICA. Mereka ramai-ramai mengumpulkan uang NICA dan dimusnahkan.
“Di Yogyakarta pada hari dikeluarkannya maklumat itu, para pelajar sekolah menengah secara spontan mengumpulkan mata uang NICA, termasuk di kampung-kampung yang diduga ada peredaran mata uang tersebut, kemudian memusnahkannya,” demikian dikutip dari Jurnal Sejarah, Pemikiran Rekonstruksi Persepsi (2004).
Aksi penolakan uang NICA meluas. Banyak pedagang pribumi di Jakarta menolak uang NICA sebagai alat pembayaran.
Di Semarang Jawa Tengah, rakyat menolak bertransaksi dengan orang Belanda. Upaya Belanda memasarkan uang NICA mendapat perlawanan sengit.
Rakyat di Jawa dan Sumatera memilih memakai uang Jepang meski nilainya terus merosot.
Wapres Moh Hatta melihat Belanda sengaja memakai uang sebagai senjata untuk mengacaukan ekonomi Indonesia.
Hatta segera mengambil langkah. Pada rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ke-3 pada 28 Oktober 1945, diusulkan penerbitan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI).
Menteri Keuangan Mr A.A Maramis langsung membentuk Panitia Penyelenggara Percetakan Oeang RI pada 7 November 1945.
Usulan lokasi percetakan uang bermunculan. Mulai percetakan G. Kolff Jakarta dan Percetakan Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, Malang, Jawa Timur.
Juga usulan Surabaya dan Yogyakarta sebagai altenatif. Diputuskan percetakan dilakukan di Jakarta. Gambar litografi uang rakyat Indonesia pertama dibuat di percetakan De Unie.
Proses gambar melibatkan pelukis Abdulsalam dan Soerono. Pada Januari 1946 produksi ORI dimulai.
“Karena percetakan Kolff pada waktu itu masih dikuasai Belanda, maka proses offsetnya untuk pertama kali dilakukan oleh Percetakan RI Salemba, Jakarta sebuah percetakan di bawah Kementerian Penerangan”.
Menyusul perpindahan ibu kota negara di Yogyakarta, percetakan uang bergeser ke Yogyakarta.
Percetakan dan penerbitan ORI juga dilakukan di Surakarta, Malang dan Ponorogo, Jawa Timur. Berbagai percetakan swasta dilibatkan.
Pada 30 Oktober 1946, Pemerintah RI resmi mengedarkan ORI sebagai alat pembayaran sah di wilayah Republik Indonesia.
Penulis: Solichan Arif