Jam 19.00 WIB adalah waktu keramat bagi saya dan adik-adik. Sepenting apapun pekerjaan di rumah, jam 19.00 WIB harus sudah kumpul di ruang keluarga, termasuk meninggalkan tugas sekolah.
Seperti berbagi peran, saya menyiapkan radio milik bapak di ruang tengah. Memposisikannya tepat di atas bufet, agar semua yang ada di ruangan itu mendengar dengan baik.
Usai memastikan batereinya bagus dan salurannya tak berisik, kami duduk manis. Menunggu pemutaran drama radio Misteri Dari Gunung Merapi.
baca ini Dibangun di Atas Kuburan Gedung Bekas SMA 5 Kediri Dikenal Berhantu
Tepat jam 19.30 WIB momen itu tiba. Setelah iklan berputar, terdengar suara keramat dari pembawa cerita, Neni Sumadi. Seseorang bersuara perempuan yang hingga kini tak pernah kami ketahui rupanya.
“Sandiwara radio Misteri Dari Gunung Merapi, dalam kisah, Penghuni Rumah Tua (terdengar suara petir bersahutan,” kata suara itu yang menjadi pembuka dimulainya drama radio. Deg. Jantungku mulai berdegup.
Suara petir yang masih terdengar bersambung dengan lolongan anjing. Musik latar yang mistis makin menambah suasana mencekam di ruang tengah. Radio jadul milik bapak yang dibeli dari tetangga hasil kerja di Arab seolah berubah menjadi benda mengerikan. Khawatir lolongan anjing itu akan keluar dan membekap kami.
Kami mulai merapatkan posisi duduk. Mengumpul ke tengah mendekati speaker radio. Adikku yang paling kecil menyaut bantal dan menutup muka. Aneh, padahal tak ada yang bisa ditonton dari sebuah radio.
Entah mengapa produksi suara yang diciptakan benar-benar hidup dan meneror kami. Belum selesai menata hati, suara pembawa acara kembali terdengar.
“Naskah karya, Asmadi Sjafar. Dengan para pelaku, Lia Haidir sebagai Farida, Ferry Fadly sebagai Basir, Wit Hendra sebagai Mardian, Asriyati sebagai Mak Lampir, dan Ivone Ros sebagai Nyai Kembang. Dan pembawa cerita, Neni Sumadi”.
baca ini Mitos Pacaran di Goa Selomangleng Bisa Putus
Usai perkenalan pelaku, intonasi musik berubah landai. Instrumental radio terdengar tenang. Tak ada lagi efek teror yang mencekam. Neni Sumadi kembali membuka cerita dengan menukil episode sebelumnya sebagai pengingat.
Drama Radio Misteri Dari Gunung Merapi benar-benar menjadi ikon hiburan di era tahun 1980-an. Kisah ini setara dengan drama radio lainnya yang bergenre laga Tutur Tinular. Pemeran utamanya sama, Ferry Fadly sebagai Brama Kumbara. Karenanya tak heran jika sosok Ferry Fadly jauh lebih populer di telinga kami, meski penampakan aslinya tak segarang yang kami bayangkan.
Itu kami ketahui dari kartu bergambar yang dijual mas-mas di depan sekolah. Kartu itu bergambar para pemain Tutur Tinular yang berpose dengan pakaian kerajaan. Sosok Ferry Fadly yang kami bayangkan memiliki ilmu Lampah Lumpuh ternyata ceking dan jauh dari tegap. Kumisnya melintang dengan ikat kepala kain yang menjadi ciri khasnya.
baca ini Heboh Penampakan Hantu di Balai Kota Kediri
Namun begitu, tak menyurutkan semangat kami untuk mengikuti episode itu hingga berminggu minggu, berbulan bulan. Semua obrolan kami di rumah dan sekolah didominasi kisah Mak Lampir dan Brama Kumbara.
Theatre of mind
Drama radio di era 1980-an memang istimewa. Mengandalkan teknik audio dan pembawa acara yang hebat, seolah membawa pendengar masuk ke jalan cerita.
Pendengar bebas untuk menciptakan sosok, menciptakan adegan, sesuai keinginan dan imajinasi masing-masing. Sama seperti membaca cerita silat berlatar Tiongha Kho Ping Hoo yang dipenuhi tulisan tanpa gambar. Ini yang dinamakan Theatre of mind. Sebuah imajinasi yang tak bisa didapat dari media audio visual seperti televisi.
Sosok Mak Lampir yang tertawa terkekeh dengan efek suara menyeramkan memunculkan gambaran nenek tua menakutkan. Bayangan saya tentang Mak Lampir bisa saja berbeda dengan adik saya. Namun yang pasti, sama-sama menyeramkan.
Kengerian tentang Mak Lampir justru turun derajat ketika muncul serial Misteri Dari Gunung Merapi di televisi. Bayangan tentang Mak Lampir menjadi seragam sebagai nenek tua berambut gimbal dengan wajah hijau. Apalagi saat program televisi yang lain mengeksploitasi Mak Lampir dengan menampilkan artis pemerannya, Farida Pasha yang cantik dan anggun, meruntuhkan kengerian kami tentang Mak Lampir.
Sebagai pendengar setia yang mengikuti drama radio sejak bangku sekolah dasar, saya kecewa. Misteri Dari Gunung Merapi telah kehilangan misterinya.
Namun saya mengapresiasi upaya Farida Pasha yang berjuang keras memenuhi tuntutan imajinasi kami menjadi Mak Lampir. Setidaknya suara tawanya telah menyerupai ringkik Asriyati yang kami dengar di radio.
Selamat jalan Farida Pasha. Selamat jalan Mak Lampir. Tenanglah di alam kubur, dan jangan kau tunjukkan tawamu di Malam Jumat. (*Hari Tri Wasono)
*)Penulis adalah jurnalis Bacaini.id