Bacaini.id, MALANG – Kemarahan Devi Athok meledak saat polisi menyebut kematian anaknya bukan karena gas air mata. Tak hanya satu, warga Bululawang, Malang, ini kehilangan dua putrinya sekaligus dalam tragedi Kanjuruhan.
Devi Athok, 43 tahun, masih mengingat tubuh dua anaknya terbujur kaku di ruang Instalasai Jenazah Rumah Sakit Wava Husada, Kepanjen, Kabupaten Malang. Dia menciumi jasad kedua anak perempuannya yang menjadi korban tragedi Kanjuruhan di malam petaka, 1 Oktober 2022.
“Kondisi kepala, wajah hingga dada membiru hitam. Hidungnya juga keluar darah dan berbusa,” kata Devi Anthok saat ditemui Bacaini.id di rumahnya, Kamis, 20 Oktober 2022.
Dua gadis malang itu adalah Nayla D. Anggraini (14) dan kakaknya Natasya D. Ramadani, 16 tahun. Tak hanya mereka, ibu mereka Debi Asta, 35 tahun juga meregang nyawa dalam tragedi berdarah tersebut. Debi kini telah bercerai dan menikah lagi dengan pria lain.
Saat peristiwa itu terjadi, Nayla dan Natasya pergi menonton bola bersama ibu, ayah tiri, dan saudara tirinya. Mereka tewas saat berjuang keluar dari sergapan gas air mata di pintu stadion nomor 13 yang terkunci. Di tempat ini korban terbanyak tragedi Kanjuruhan ditemukan.
Upaya Devi untuk mendapat keadilan atas kematian tragis keluarganya sempat tumbuh ketika Presiden Joko Widodo memberi perhatian besar pada tragedi itu. Pemerintah juga membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) untuk mengusut tuntas peristiwa itu.
Sayang, harapan tersebut pupus ketika Polri mengumumkan penyebab kematian keluarganya bukan karena gas air mata. Padahal seluruh suporter dan saksi mata peristiwa itu menyebut jika penyebab kekacauan itu adalah tembakan gas air mata polisi yang membabi buta.
”Saya saja tujuh hari gatal-gatal setelah anak saya tak ciumi, tak peluk. Kan aneh (kalau bukan akibat gas air mata),” kata Devi yang menduga rasa gatal itu berasal dari gas air mata.
Tak terima dengan pernyataan itu Devi mengajukan otopsi. Dia menginginkan penyebab kematian dua putrinya diungkap tuntas. Bersama pengacaranya, dia sepakat mengajukan otopsi jenazah kedua putrinya pada 10 Oktober 2022.
Keputusan itu juga sudah diketahui Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) dan TGIPF, termasuk Aremania Gabungan yang membentuk Posko Aduan di Gedung KNPI.
Namun lagi-lagi Devi harus dihadapkan pada situasi sulit ketika rumahnya mulai sering didatangi anggota polisi. ”Saya ditanya-tanyai soal otopsi. Memang gak ada ancaman, tapi kalau datang setiap hari, lalu ada rombongan jejer di depan rumah, ya saya takutlah,” kata Devi.
Kedatangan aparat itu terus berlanjut hingga tujuh hari. Sampai-sampai Devi menolak menemui mereka karena jengah. “Saat itu saya merasa berjuang sendirian, tidak ada yang menemani, baik dari kuasa hukum maupun suporter,” katanya.
Hingga pada puncaknya, Devi menyerah dengan situasi itu dan sepakat membatalkan persetujuan otopsi. Keputusan itu diambil pada tanggal 10 Oktober 2022, setelah aparat Polda Jatim mendatangi rumahnya.
“Saya masih berharap ada korban lain yang ikut menuntut otopsi. Jika itu dilakukan, saya siap mengajukan lagi,” katanya.
Penulis: A.Ulul
Editor: HTW
Tonton video: