Bacaini.ID, KEDIRI – Fatmawati, istri Soekarno atau Bung Karno hamil tua saat menjahit kain bendera merah putih. Dua kain yang mesti disatukannya itu berukuran besar: 2 X 3 meter.
“Menjelang kelahiran Guntur (Guntur Soekarnoputra), ketika usia kandungan telah mencukupi bulanannya, saya paksakan diri menjahit bendera merah putih,” kata Fatmawati seperti dikutip dari buku Berkibarlah Benderaku Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka.
Peristiwa bersejarah itu berlangsung pada akhir tahun 1944. Dua lembar kain yang kelak dikenang sebagai bendera pusaka itu dijahit di ruang makan, di depan kamar tidur.
Fatmawati memakai mesin jahit Singer dengan tuas roda tangan sebagai penggerak. Dokter telah melarangnya untuk tidak banyak-banyak menggerakkan kaki.
Satu tangan menggerakan roda mesin jahit dan satunya mengontrol kain.
Kain dari Jepang
Kain jenis katun setara primissima warna merah dan putih di tangan Fatmawati itu berasal dari perwira tinggi Jepang Shimizu.
Diambil dari sebuah gudang di Jalan Pintu Air, Jakarta Pusat, yang kemudian diantarkan Chaerul Basri, anak buah Shimizu ke Pegangsaan Timur.
Shimizu merupakan kepala barisan propaganda di Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Sumatera).
Shimizu juga yang mengatur semua fasilitas untuk Bung Karno saat kembali dari pengasingan. Sebuah mobil sedan Buick lengkap dengan sopir.
Kemudian memberi rumah besar di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini Jakarta. Rumah yang sebelumnya milik keluarga Belanda.
Shimizu yang mengatur semua proses tukar guling dengan gedung bertingkat yang di jalan Lembang, Menteng.
Bung Karno beralasan sebagai pemimpin Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dirinya perlu rumah berhalaman luas untuk menerima rakyat dalam jumlah banyak.
Pada saat itu Jepang telah mengizinkan pengibaran bendera merah putih bersanding dengan hinomaru, terutama pada perayaan hari besar.
Namun karena sulit mendapatkan kain, merah putih belum bisa berkibar di mana-mana.
Kebijakan itu menyusul diumumkannya janji kemerdekaan secara terbuka oleh Jepang pada September 1944.
Sementara itu saat menjahit kain bendera merah putih, Fatmawati diliputi perasaan terharu. Berulangkali ia meneteskan air mata.
Pada akhir tahun 1944, kain merah putih pemberian Jepang yang kelak jadi bendera pusaka itu rampung dijahit selama dua hari.
Mengiringi kumandang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sang saka merah putih hasil jahitan Fatmawati berkibar mengangkasa.
“Berulangkali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu,” kata Fatmawati seperti dikutip dari buku Berkibarlah Benderaku Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka.
Penulis: Solichan Arif