Bacaini.id, MALANG – Pengendara yang biasa melintasi jalur Pujon-Batu pasti tidak asing dengan sebuah tugu bertuliskan Statuz Quo Lijn atau Garis Status Quo. Tahukah kamu jika tugu penanda bercat warna hijau itu menyimpan historis panjang dalam perjuangan kemerdekaan RI.
Tugu penanda yang juga disebut Garis Van Mook itu tepat berada di Jalan Brigjen Abdul Manan Wijaya, Kecamatan Pujon. Diketahui, sebutan itu diambil dari nama Gubernur Jenderal Belanda pada masa itu.
Tugu tersebut dibangun sebagai batas garis demarkasi wilayah kekuasaan Belanda pasca Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Jadi, lebih tepatnya, bangunan itu bukanlah sebuah tugu penanda maupun garis batas desa.
Perjanjian Renville sendiri merupakan inisiasi PBB untuk menghentikan gencatan senjata antara kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda ketika Agresi Militer. Dalam perjanjian itu, lahir kesepakatan terkait pembagian daerah kekuasaan, termasuk di wilayah Pujon.
Sejarawan Malang, Dwi Cahyono mengatakan, pembagian wilayah kekuasaan dari hasil Perjanjian Renville dimulai dari garis batas itu. Di mana wilayah Pujon ke barat, Kasembon, Ngantang hingga Yogyakarta ditetapkan sebagai wilayah Republik Indonesia.
”Sebaliknya, Pujon ke timur (termasuk Malang hingga Jawa Timur – Banyuwangi) merupakan daerah kekuasaan Belanda,” kata Dwi, Sabtu, 25 Februari 2023.
Secara geografis, garis batas itu sekarang terletak di Jalan Brigjen Abdul Manan Wijaya, Desa Pandesari yang saat itu masuk wilayah kekuasaan Belanda. Sebagian bangunan dengan arsitektur Belanda kuno masih ada, bahkan terjaga dengan baik hingga saat ini.
Meski sudah ada Perjanjian Renville, aksi saling serang antar pejuang Indonesia yang juga diperkuat Arek-arek Pujon dengan Belanda di garis batas itu masih terjadi. Gencatan senjata berujung pertempuran, banyak putera Indonesia gugur di sana.
Sampai akhirnya Belanda benar-benar hengkang pada tahun1948, garis batas itu menjadi saksi bisu pertumpahan darah para pejuang. Seperti Brigjen Abdul Manan Wijaya bersama Letnan Soemadi dan Mayor Sunandar.
Selain Brigjen Abdul Manan Wijaya yang menjadi pemimpin rakyat pada masa itu, nama-nama pejuang bangsa lain yang tercatat gugur saat itu diantaranya Kopral Kastawi, AP III Katjoeng Permadi dan Soejadi serta Serma Soewarno Yudho yang bertugas berjaga di garis batas tersebut.
Untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur pada pertempuran di garis batas, dibangunlah monumen pejuang dan patung Brigjen Abdul Manan Wijaya, AP III Katjoeng Permadi sedang menggotong rekan pejuang yang gugur. Bangunan itu berada di seberang garis Van Mook.
Tulisan pada monumen, tepat di bawah Mobil Jeep Willys (kenangan terhadap AP III Katjoeng Permadi) juga cukup membekas bagi siapapun yang membacanya “Coba renungkan, kematianku untuk siapa”.
Penulis: A.Ulul
Editor: Novira