Bacaini.ID, KEDIRI – Sebagai organisasi Islam terbesar dengan jutaan pengikut yang tersebar dari pesantren hingga kampung, dinamika di tubuh Nahdlatul Ulama tak terelakkan. Konflik tajam pernah terjadi di era kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang berujung desakan pencopotan dari kursi ketua umum PBNU.
Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar 1984 di Situbondo, sebuah muktamar bersejarah yang mengembalikan NU ke khittah dan tidak lagi menjadi partai politik, melainkan fokus pada dakwah, pendidikan, dan sosial.
Keputusan ini disambut luas, tetapi juga menimbulkan perdebatan. Gus Dur dianggap sebagai arsitek utama khittah, sekaligus tokoh yang berani membawa NU keluar dari politik praktis.
Namun, kharisma Gus Dur yang besar justru memunculkan ketegangan. Di satu sisi, ia dipuja sebagai pembaharu yang membawa NU ke ranah modern, memperjuangkan pluralisme, dan membuka dialog lintas agama. Di sisi lain, sebagian kalangan NU merasa Gus Dur terlalu liberal, bahkan melampaui batas tradisi pesantren.
baca juga :
- Ketua Umum PBNU Diminta Mundur, Ini Komentar Cucu Pendiri NU
- Krisis Kepemimpinan dan Pertarungan Ideologi NU
- Biografi Kiai Ridwan Abdullah Kiai Kampung Pembuat Logo NU
Konflik di tubuh NU semakin terasa ketika Gus Dur mulai aktif dalam politik nasional. Pada era Orde Baru, Gus Dur sering berseberangan dengan pemerintah, mengkritik kebijakan represif, dan membela hak-hak minoritas. Sikap ini membuat NU terbelah: ada yang mendukung keberanian Gus Dur, ada pula yang khawatir NU kehilangan fokus sebagai organisasi keagamaan.
Puncak konflik terjadi menjelang Muktamar NU 1994 di Cipasung, Tasikmalaya. Gus Dur menghadapi tantangan serius dari kelompok internal yang menilai kepemimpinannya terlalu dominan. Isu-isu seperti tata kelola organisasi, arah politik NU, hingga gaya kepemimpinan Gus Dur menjadi bahan perdebatan panas. Meski akhirnya Gus Dur tetap terpilih, muktamar itu meninggalkan jejak konflik yang panjang.
Ketika Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI pada 1999, konflik internal NU kembali mencuat. Sebagian warga NU bangga karena tokoh mereka berhasil menembus puncak kekuasaan.
Namun, ada juga yang menilai Gus Dur membawa NU terlalu jauh ke ranah politik praktis. Hubungan antara PBNU dan pemerintah saat itu sering diwarnai tarik-menarik kepentingan, bahkan muncul desakan agar Gus Dur mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU karena dianggap tidak bisa memisahkan peran politik dan organisasi.
Meski konflik kepemimpinan Gus Dur berlangsung panjang dan penuh drama, NU tetap bertahan. Tradisi musyawarah, konsensus, dan budaya pesantren menjadi penyangga utama. NU tidak pernah benar-benar pecah, meski perbedaan pandangan sering kali tajam. Justru, konflik itu membentuk karakter NU sebagai organisasi yang dinamis, terbuka terhadap kritik, dan mampu beradaptasi dengan zaman.
Penulis: Hari Tri Wasono





