Bacaini.ID, KEDIRI – Indonesia kaya akan budaya dan tradisi, baik itu dalam cerita tutur, folklore hingga yang tercatat dalam sumber resmi.
Seperti tradisi unik di masyarakat Banyumas, Jawa Tengah. Tidak ditemukan catatan lengkap mengenai tradisi yang diperkirakan muncul sekitar abad ke-15.
Gowokan, tradisi pendidikan seks bagi calon pengantin laki-laki yang berkembang di masyarakat agraris yang menegang teguh adat-istiadat Jawa.
Sebuah artikel berjudul ‘Gowokan’ yang beredar luas di dunia maya, banyak menjelaskan tata cara ritual itu. Artikel yang ditulis oleh Diah Septiningsih.
Gowok adalah sebutan untuk orang yang berperan sebagai pendidik atau guru seks bagi remaja laki-laki yang hendak menikah.
Pendidikan ini tidak hanya meliputi hubungan fisik. Tetapi juga mencakup pengetahuan tentang titik-titik sensitif pada tubuh perempuan.
Cara memperlakukan istri dengan baik juga menjadi pelajaran penting dalam Gowokan. Bahkan juga diajarkan mengenai etika dalam berumahtangga.
Tradisi Gowokan ini juga diangkat dalam sebuah novel karya Budi Sardjono yang berjudul Nyai Gowok.
Dalam novel tersebut, Nyai Lindri, yang memiliki profesi sebagai guru urusan rumah tangga digambarkan sebagai keturunan Tionghoa.
Nama ‘Gowok’ sendiri disebutkan berasal dari pengucapan lidah lokal terhadap nama Goo Wook Niang. Nyai Gowok pertama di Banyumas.
Goo Wook Niang adalah perempuan keturunan Jawa-Tionghoa.
Goo Wook Niang dianggap sebagai pioner dalam memperkenalkan pendidikan seks yang terstruktur bagi pemuda Jawa.
Pendidikan seks yang dilakukan oleh Nyai Gowok, menggunakan metode pengajaran yang sopan, penuh tata krama dan berbasis pada ajaran leluhur.
Jika diambil benang merah antara tradisi pendidikan seks untuk calon pengantin yang ada di Banyumas, memang mirip dengan ajaran serupa yang ada di China.
Gowokan tidak hanya mengajarkan soal fisik tetapi juga mengajarkan mengenai kesehatan reproduksi, penggunaan ramuan tradisional hingga filosofi kehidupan rumah tangga.
Gowokan juga dianggap sebagai bentuk pendidikan moral dan sosial calon pengantin.
Pada saat itu pembicaraan mengenai hubungan suami istri secara terbuka, dianggap tabu. Oleh karena itu tradisi Gowok menjadi solusi untuk memberikan edukasi tanpa menyalahi norma adat.
Sistem dalam Gowokan
Gowokan dilakukan setelah lamaran pihak pria diterima oleh pihak perempuan dan tanggal pernikahan sudah ditentukan.
Selama jeda waktu lamaran dan pernikahan ini, Gowokan dilakukan oleh keluarga calon mempelai pria.
Keluarga pria akan memilih Gowok yang dianggap memiliki pengalaman dan reputasi baik. Pilihan gowok tidak bisa sembarangan.
Gowok biasanya adalah perempuan dewasa berusia antara 30 – 40 tahun dan seringkali seorang janda atau ronggeng yang sudah paham betul urusan rumah tangga.
Setelah bersepakat, keluarga pria akan mendatangi rumah Gowok terpilih untuk melakukan perjanjian dan transaksi.
Dalam perjanjian ini, orang tua calon pengantin pria akan memberikan mahar yang serupa dengan mahar calon istri ditambah sejumlah uang sebagai bentuk terimakasih.
Mahar bisa berupa uang, perhiasan atau hasil bumi.
Pembayaran ini bukan sekedar bentuk transaksi ekonomi tapi lebih ke penghormatan terhadap ilmu dan jasa yang diberikan oleh Nyai Gowok.
Lokasi dan durasi pendidikan disepakati bersama. Bisa dilakukan di rumah Gowok, atau gowok diundang ke rumah calon mempelai pria selama waktu yang disepakati. Biasanya berlangsung 3-7 hari.
Gowok memiliki tugas untuk mempersiapkan calon mempelai pria tidak akan mengalami malu pada malam pertama.
Gowok akan mengajarkan kepada ‘murid’nya ini mengenai pemahaman hubungan suami istri yang sakral untuk mencapai keselarasan batin.
Terdapat pula ajaran khusus yang memulai hubungan dengan doa-doa dan tembang Jawa yang bisa dipercaya menghadirkan ketenangan.
Tradisi gowok tidak hanya sekedar pendidikan seks, namun memuat juga unsur etika, spiritual dan budaya yang kental.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif