Bacaini.ID, KEDIRI – Partai Komunis Indonesia (PKI) memberi sebutan 7 Setan Desa kepada sejumlah kelompok masyarakat pedesaan yang perilaku sosial ekonominya dianggap menindas rakyat.
Para aktivis ounderbow PKI, terutama yang tergabung dalam Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia (BTI), terus berusaha mengganyang golongan 7 Setan Desa.
Orang-orang PKI meyakini kesejahteraan masyarakat desa, utamanya petani akan tercipta jika para Setan Desa yang kontra revolusi itu berhasil dienyahkan.
“Hanya dengan mengakhiri penghisapan dan penindasan setan-setan desa ini kaum tani dapat mencapai pembebasan yang sungguh-sungguh,” demikian dikutip dari buku Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno (2013).
Siapa sebetulnya yang disebut 7 Setan Desa itu? Yang pertama adalah tuan tanah jahat yang berwatak menindas rakyat. Dalam meraup kepentingan sosial ekonominya, mereka dianggap menghisap keringat rakyat.
Sementara seperti diketahui, sebagian besar pemilik tanah atau tuan tanah di pedesaan Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah para pemuka agama dan priyayi, yang afiliasi politiknya banyak ke NU dan PNI.
Setan Desa berikutnya adalah Lintah Darat, Tukang Ijon, Kapitalis Birokrat (Kabir), Tengkulak Jahat, Bandit Desa dan Penguasa jahat.
Para kepala desa dan perangkat yang kebijakannya merugikan rakyat, juga termasuk golongan 7 Setan Desa. Bagi PKI, semua harus diganyang, utamanya golongan tuan tanah.
Karenanya, begitu pemerintahan Presiden Soekarno atau Bung Karno memberlakukan kebijakan Landreform sebagai pelaksanaan UU Pokok Agraria, PKI langsung bergegas mengambil langkah aksi sepihak.
Mereka menyabotase atau menguasai tanah – tanah yang dianggap milik para Setan Desa. Orang-orang BTI dan Pemuda Rakyat leluasa memanen hasil pertanian milik golongan tuan tanah jahat.
Pada awal tahun 1964, orang-orang BTI di Kediri Jawa Timur mematoki tanah milik rakyat yang dianggap melebihi batas. Sejumlah tanah yang diklaim sepihak oleh orang-orang BTI adalah milik para kiai.
Bahkan tidak sedikit tanah milik pengurus partai NU, PNI dan Masyumi. Keberanian yang kelewatan para aktivis BTI PKI itu dipengaruhi adanya pimpinan PKI yang duduk di kementerian.
“Semangat PKI BTI dalam melakukan landreform ini semakin berkobar setelah salah seorang pimpinan PKI yaitu Njoto diangkat sebagai Menteri Urusan Landreform,” demikian dikutip dari buku Benturan NU PKI 1948-1965.
Langkah provokatif para kader PKI sontak menimbulkan kemarahan, khususnya dari orang-orang NU dan PNI. Di Surabaya, kemarahan orang-orang GP Ansor NU Jawa Timur dipicu aksi sepihak PKI terhadap tanah milik Muslimat NU.
Benturan fisik antar massa tidak terhindarkan, dan Ansor NU berhasil merebut kembali tanah milik Muslimat. Aksi sepihak orang-orang PKI jadi blunder politik, lantaran di mana-mana mendapat perlawanan keras dari NU dan PNI.
Konflik horizontal antara orang-orang BTI dan Pemuda Rakyat dengan Ansor NU tidak terhindarkan. NU berdiri di garda depan sebagai satu-satunya parpol berbasis Islam setelah Masyumi dibubarkan.
Puncaknya adalah peristiwa 30 September 1965 atau G30S PKI. PKI yang sedang berada pada puncak kejayaan dan diprediksi akan memenangkan pemilu, jatuh tersungkur.
Para tokoh PKI, kader hingga simpatisan, ditangkap dan dieksekusi, termasuk pimpinan CC (Committe Central) PKI DN Aidit, ditembak mati di wilayah Boyolali Jawa Tengah.
Di bawah kendali Mayjen Soeharto, Pemerintah Indonesia pada 12 Maret 1966 membubarkan PKI dan sekaligus menetapkannya sebagai partai politik terlarang.
Penulis: Solichan Arif