Bacaini.ID, KEDIRI – Status darurat militer belum lama ini diumumkan Pemerintah Nepal menyusul aksi demonstrasi besar-besaran yang tidak terkendali.
Sementara pada sisi lain masih banyak masyarakat sipil yang kurang memahami konsekuensi darurat militer, termasuk di Indonesa.
Bahkan di media sosial, sebagian warganet menganggap darurat militer adalah sesuatu yang terlihat ‘keren’.
Apa itu Darurat Militer?
Darurat militer merupakan keadaan khusus saat militer mengambil alih sebagian atau seluruh fungsi pemerintahan sipil.
Hal ini biasanya dilakukan ketika pemerintah sipil dianggap tidak mampu mengendalikan situasi, seperti kerusuhan, pemberontakan, perang, atau bencana besar.
Dalam kondisi ini, hukum sipil bisa ditangguhkan, dan digantikan dengan aturan militer.
Konsekuensinya hak-hak warga negara seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, hingga kebebasan pers dibatasi secara ketat.
Baca Juga: Demo Gen Z di Nepal Rusuh Mirip Indonesia, Bedanya PM Mundur
Ciri-ciri darurat militer:
• Kehadiran militer di jalan-jalan, seperti pos pemeriksaan dan patroli bersenjata.
• Pembatasan jam malam (curfew) yang ketat.
• Penutupan media atau sensor berita.
• Penangkapan tanpa proses pengadilan.
• Pengalihan kendali dari pemerintah sipil ke pejabat militer.
Kerusuhan yang terjadi di Nepal hingga mengakibatkan negara chaos membuat otoritas setempat mengumumkan darurat militer.
Memberikan wewenang penuh kepada militer atau tentara untuk mengamankan negara.
Dampaknya, ribuan tentara dikerahkan ke jalanan, internet dibatasi, dan banyak pemimpin oposisi ditangkap tanpa proses pengadilan.
Kondisi ini menimbulkan ketakutan di kalangan rakyat, tetapi pemerintah beralasan langkah ini diperlukan untuk mencegah negara jatuh ke dalam kekacauan lebih parah.
Baca Juga: Mirip Indonesia, Kerusuhan dan Penjarahan Melanda Nepal, Dipicu Ketidakpuasan pada Pemerintah
Dampak Darurat Militer Bagi Rakyat
Ketika darurat militer diberlakukan, kehidupan sehari-hari masyarakat berubah drastis. Berikut dampak yang paling umum dirasakan rakyat:
• Pembatasan kebebasan. Masyarakat tidak bisa bebas berkumpul atau menyampaikan pendapat.
• Ketakutan dan ketidakpastian. Banyak orang takut keluar rumah, terutama setelah jam malam diberlakukan.
• Gangguan ekonomi. Bisnis dan perdagangan terhenti, harga bahan pokok melonjak.
• Krisis informasi. Media dibatasi sehingga rakyat sulit mendapatkan berita yang benar.
• Pelanggaran HAM. Dalam beberapa kasus, terjadi penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan oleh aparat.
Negara-negara yang Pernah memberlakukan Darurat Militer
Nepal bukan satu-satunya negara yang pernah mengalami darurat militer. Indonesia pun pernah berstatus darurat militer.
Berikut beberapa contoh negara lain dan penyebabnya:
• Thailand (2014)
Militer mengambil alih pemerintahan setelah kerusuhan politik yang berkepanjangan. Perdana Menteri saat itu digulingkan, dan konstitusi dibekukan.
• Mesir (2013)
Presiden Mohamed Morsi digulingkan oleh militer setelah demonstrasi besar-besaran. Saat itu banyak penangkapan massal dan pembatasan media.
• Filipina (1972-1981)
Presiden Ferdinand Marcos mendeklarasikan darurat militer dengan alasan ancaman komunis. Dalam periode ini, banyak pelanggaran HAM yang terjadi.
• Indonesia (1965)
Setelah peristiwa G30S, pemerintah Indonesia menerapkan status darurat militer untuk memulihkan keamanan nasional.
Bagaimana Negara Berjalan Saat Darurat Militer?
Meskipun terlihat kacau, negara tetap berjalan di bawah kendali militer. Berikut mekanisme yang berjalan:
• Militer mengendalikan pemerintahan. Termasuk kebijakan ekonomi, keamanan, dan politik.
• Hukum militer berlaku. Pengadilan sipil bisa ditangguhkan.
• Layanan publik tetap berjalan. Rumah sakit, sekolah, dan pelayanan dasar tetap diupayakan agar tetap beroperasi.
• Diplomasi luar negeri. Negara tetap melakukan hubungan internasional, meski sering mendapat tekanan dari komunitas global.
Darurat militer merupakan langkah ekstrem yang diambil ketika negara berada di ambang kekacauan.
Meski dapat memulihkan keamanan dalam jangka pendek, penerapan darurat militer sering menimbulkan ketegangan politik dan penderitaan rakyat.
Kasus Nepal menjadi pengingat bahwa stabilitas politik dan pemerintahan yang responsif terhadap rakyat adalah kunci untuk mencegah krisis seperti ini di masa depan.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif