Bacaini.ID, KEDIRI – Aroma dupa dan suara gamelan mengalun dari pura-pura hingga sudut desa, menandai dimulainya perayaan kemenangan Dharma (kebenaran) atas Adharma (kejahatan). Hari ini, umat Hindu di belahan dunia tengah menyambut Galungan.
Galungan bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan warisan sejarah yang berakar pada legenda Raja Mayadenawa, penguasa angkuh yang menolak ajaran kebaikan dan melarang rakyatnya beribadah.
Dalam kisah spiritual umat Hindu Bali, Mayadenawa dikalahkan oleh Dewa Indra, dan kemenangan ini diperingati sebagai simbol bahwa kebaikan akan selalu menang.
Tak hanya di Bali, perayaan Galungan juga berlangsung di komunitas Hindu di Jawa, Lombok, hingga Sulawesi. Di tengah arus modernisasi, Galungan tetap menjadi ruang refleksi spiritual dan sosial, mempererat ikatan keluarga dan menjaga warisan budaya.
“Galungan mengingatkan kita untuk menjaga keseimbangan batin, melawan godaan duniawi, dan memperkuat hubungan dengan leluhur,” kata Galuh Hapsari, warga Desa Deyeng, Ringinrejo, Kabupaten Kediri yang menganut agama Hindu, Rabu, 19 November 2025.
Sehari sebelum Galungan, umat Hindu melakukan Penampahan, mempersiapkan persembahan dan makanan khas seperti lawar dan babi guling.
Di hari puncak, penjor, yaitu bambu tinggi berhias janur dan hasil bumi, berdiri megah di depan rumah, melambangkan rasa syukur dan kemakmuran. “Kalau di Bali nuansa penjor sangat meriah,” kata Galuh.
Rangkaian Galungan berlangsung selama sepuluh hari, ditutup dengan Hari Raya Kuningan, saat roh leluhur diyakini kembali ke alamnya. Di masa ini, umat Hindu mempersembahkan banten berwarna kuning sebagai simbol kesucian dan pengharapan.
Penulis: Hari Tri Wasono





