Bacaini.ID, KEDIRI – Indonesia memiliki cabai sendiri yang biasa disebut cabya.
Selama ini orang lebih mengenal cabai rawit yang merunut sejarahnya dibawa oleh pedagang Portugis ke Nusantara.
Berasal dari Jawa, cabya biasa diucapkan cabai puyang atau cabai jawa dengan nama latin Piper Retrofractum, tanaman asli Indonesia.
Sebagian besar orang mengenal cabai puyang sebagai bahan obat tradisional.
Konon sudah dimanfaatkan sejak zaman kerajaan Majapahit (1293-1527 M), sebelum masuknya cabai rawit.
Termasuk jenis tanaman merambat, serumpun dengan jahe dan lada, cabai jawa bertekstur bulat memanjang, bintik-bintik pada kulit luar.
Pengolahan cabya dimulai dengan pengeringan dan dihaluskan. Itu ketika untuk dipakai campuran jamu maupun bumbu masakan.
Kuliner gulai dan soto biasa menggunakannya. Efeknya sensasi rasa hangat di tenggorokan.
Salah satu food vloger dengan akun instagram @mgdalenaf membagikan petualangannya dalam menelusuri cabai jawa.
Magda menemukan cabya di wilayah Kulon Progo, Yogyakarta, yang dibudidayakan petani setempat.
“Pedesnya tuh beda banget, panas di tenggorokan, ada rasa getir dan aroma khas rempah,” ungkapnya dalam akun medsosnya.
Magda juga menerangkan bahwa harga cabai jawa ini cukup tinggi di atas 100 ribu per kilo dan bisa dibeli di toko online.
Harga mahal disebabkan mulai langka. Kemudian banyak diekspor ke luar negeri sebagai bahan jamu atau obat tradisional.
Di antaranya ke Uni Emirat Arab, India, China, Nepal, Pakistan, Bangladesh, Jepang, Jerman, Malaysia, Vietnam, Inggris, dan Turki.
Magda menyebut cabai jawa memiliki rasa pedas yang absurd saat dikunyah langsung. Mirip pedasnya lada. Namun jadi berbeda ketika diolah sebagai sambal.
Menghasilkan perpaduan rasa pedas dan sensasi mint yang isis di tenggorokan.
“Gue sih suka banget ya, udah lokal dan bikin makanan jadi enak. Tapi kenapa ya cabe ini sekarang malah jarang dipakai di dapur,” tanya Magda.
Penulis: Eka
Editor: Solichan Arif