Setelah melewati beberapa poster film di Golden Theater Kediri, malam itu kami (aku dan istriku) memilih studio Golden 5 yang memutar film “Agak Laen 2”.
Kami datang sedikit terlambat. Layar studio sudah menayangkan adegan Oki Rengga mengatai anak Boris dengan kalimat, “Tajam juga moncong anakmu”. Semua penonton tertawa. Sementara kami masih mencari tempat duduk sesuai nomor tiket, sebelum larut dalam ledakan tawa yang tak berjeda.
Film yang diperankan para komika ini menggabungkan komedi khas Agak Laen dengan cerita yang lebih berlapis (dibanding Agak Laen 1), dengan bumbu logat Medan yang kuat. Kami semua terhibur, termasuk istriku yang berdarah Madura – Manado, dan aku yang bergenetik Jawa – Belanda. Yah, namanya juga dijajah 350 tahun, siapa tahu leluhurku punya hubungan khusus dengan Kumpeni.
Film “Agak Laen” adalah fenomena komedi lokal yang menunjukkan kekuatannya sebagai perekat sosial. Tawa yang lahir dari guyonan khas daerah bukan sekadar hiburan, melainkan pengalaman bersama yang membentuk solidaritas sosial.
Ketika penonton dari berbagai latar belakang tertawa pada situasi yang sama, mereka merasakan kebersamaan yang melampaui perbedaan kelas, usia, atau asal daerah. Humor benar-benar menjadi bahasa universal yang menyatukan.
Menurutku, Koh Ernest sukses menggunakan komedi lokal sebagai pendidikan publik yang halus. Kritik terhadap birokrasi, stereotip sosial, atau ketidakadilan disampaikan dengan cara ringan, sehingga pesan penting bisa diterima tanpa resistensi. Penonton tertawa, tetapi sekaligus merenung.
Dengan logat Medan yang khas, film ini bukan hanya menghibur, tetapi juga memperkenalkan identitas budaya daerah kepada audiens nasional. Situasi yang ditampilkan pun terasa universal, namun tetap membawa warna lokal yang memperkaya pengalaman menonton.
Inilah bukti bahwa komedi bisa menjadi medium untuk mengangkat kebanggaan budaya sekaligus membangun empati sosial. Hingga pada akhirnya kita semua bisa tertawa bersama sekaligus belajar bersama.
Komedi lokal mengajarkan kita menerima perbedaan, menyentil isu-isu serius dengan cara yang bisa diterima, dan memperkuat rasa kebersamaan. Dan humor, dengan segala kesederhanaannya, adalah salah satu cara paling efektif untuk membentuk masyarakat yang lebih sadar, toleran, dan terkoneksi satu sama lain.
Penulis: Hari Tri Wasono





