Bacaini.ID, BLITAR – Pada tanggal 6 Oktober 1965, Ketua Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit berada di Blitar Jawa Timur.
Dipa Nusantara Aidit urung ke Bali. Ia melihat situasi yang tidak kondusif. Niatnya melanjutkan perjalanan ke Bali dibatalkan.
Dari Surabaya kembali ke Blitar yang merupakan salah satu kantong suara terbesar PKI di Jawa Timur. Bupati Blitar Sumarsono adalah kader PKI.
Di Blitar Jawa Timur, Aidit memutuskan menulis sepucuk surat untuk dikirimkan kepada Presiden Soekarno di Jakarta.
Di suratnya ia cerita garis besar peristiwa 30 September 1965. Tentang Tjakrabirawa yang menjemputnya. Tentang penangkapan anggota Dewan Jenderal.
Pada 1 Oktober 1965 Aidit melaporkan pergi ke Yogyakarta dengan pesawat yang sudah disiapkan Pangau (Panglima Angkatan Udara).
Pada 2 Oktober 1965 ia menuju Semarang untuk memberi instruksi kepada Comitte PKI Jawa Tengah.
Juga meminta Wakil Gubernur Jawa Tengah Sujono Atmo agar pemerintahan berjalan seperti biasa. Wagub Jateng Sujono merupakan kader PKI.
Kemudian bersama Lukman (pimpinan CC PKI), Aidit menuju Solo untuk bertemu Wali Kota Utomo Ramlan yang juga kader.
Aidit dalam suratnya melapor kepada Bung Karno berusaha mencegah pertempuran di antara pasukan Kodam Diponegoro Jawa Tengah.
“Mencegah bunuh-bunuhan sebagai akibat provokasi golongan komunistophobi dan Nasakomphobi,” tulisnya dalam buku Matinya Aidit Marsekal Lubang Buaya (1967).
Baca Juga: PKI Tumbuh Besar di Jawa Timur Bukan Karena Faktor Bung Karno
Aidit juga menyampaikan ingin menghadiri sidang Paripurna namun gagal karena pesawat AURI yang bisa membawanya ke Jakarta rusak.
Ia juga mengungkapkan pandangannya tentang peristiwa 30 September 1965. Aidit berpendapat G30S bukan kontrarevolusi.
Juga bukan gerakan yang ditujukan kepada Bung Karno. Ia menyebut gerakan 30 September 1965 adalah akibat salah urus dalam angkatan darat.
Aidit mengusulkan penyelesaian masalah Dewan Jenderal dan G30S sepenuhnya berada di tangan Presiden Soekarno.
Ia menyebut Bung Karno Paduka Yang Mulia, Panglima Tertinggi sekaligus Pemimpin Besar Revolusi.
Ia juga mengusulkan Bung Karno menghentikan pernyataan yang bersifat mengutuk Dewan Jenderal maupun G3OS. Juga melarang tuduh menuduh dan salah menyalahkan.
Mengusulkan semua alat revolusi terutama ABRI (sekarang TNI), orpol, ormas, koran, radio supaya bekerja seperti biasa kembali.
Juga mengusulkan masalah keamanan diserahkan kepada AKRI dengan dibantu oleh Front Nasional.
Surat DN Aidit untuk Bung Karno yang ditulis pada 6 Oktober 1965 di Blitar Jawa Timur ditutup dengan kata Wasalam dan Senantiasa.
Pelarian DN Aidit berakhir. Pentolan PKI yang dikenal dengan ucapanya “Tiada Malam Tanpa Pagi” itu ditangkap Brigif 4 Kostrad pada 22 November 1965 di Solo.
Pasukan Brigif Kostrad di bawah komando Kolonel Yasir Hadibroto kemudian membawanya ke markas Boyolali. Di dekat sebuah sumur tua, DN Aidit dieksekusi.
Sebelum peluru militer menerjang tubuhnya, Aidit sempat meminta waktu untuk berpidato. Pekik teriakan “Hidup PKI” mengakhiri hidupnya.
Penulis: Solichan Arif