Bacaini.ID, KEDIRI – Penyair Chairil Anwar suatu hari ingin menjadi model lukisan.
Ia membayangkan sosoknya yang kerempeng dengan rambut lurus berbelah pinggir, dengan sebatang rokok terselip bibir, muncul di atas kanvas.
Seperti jiwanya yang selalu bebas merdeka. Keinginan dilukis itu datang tiba-tiba. Keinginan yang sulit dibendung.
Chairil Anwar mendatangi rumah Sindoedarsono Soedjojono atau S Sudjojono yang belum lama tinggal di jalan Segara, Jakarta.
“Ia minta dilukis mas Djon (S Sudjojono). Mas Djon bersedia dengan syarat, Chairil harus memberi cat zinkwit (cat putih), karena persediaan mas Djon sudah hampir habis,” kata Mia Bustam, istri S Sudjojono seperti dikutip dari buku Sudjojono dan Aku.
Chairil Anwar tidak segera mengiyakan persyaratan membawa cat minyak zinkwit sendiri. Pandangannya justru tertuju ke arah lain. Menjelajahi koleksi buku Sudjojono dan Mia Bustam.
Berhenti pada buku De Nieuwe Spijzen karya Andre Gide, sastrawan Perancis. Buku milik Mia Bustam. Mia belum lama mendapatkan dari pasar loak.
Chairil Anwar sangat mengagumi Andre Gide. Semua seniman tahu kesukaan itu. Tanpa ba bi bu. Buku itu dicomotnya dari rak.
“Wah ini bagus Djon!,” ucap Chairil Anwar.
“Itu jeng Mia dapat dari loakan”.
“Wah,wah! Perempuan yang tahu menyelamatkan Andre Gide dari loakan, seorang istri ideal Djon!,” seru Chairil Anwar bersemangat.
Chairil membolak-balik halaman buku Andre Gide. Beberapa saat kemudian bergegas pergi tanpa berkata apa-apa.
Chairil Anwar dikenal sebagai penyair yang selalu gelisah dan liar. Semua seniman tahu hal itu. Hidupnya bohemian.
Tidak pernah tahan menetap di satu tempat. Mondar-mandir, berpindah-pindah, menggelandang. Ia bisa seenaknya pergi tanpa pamit.
Juga tiba-tiba muncul dengan keakraban khas Medan, Sumatera Utara.
Beberapa waktu kemudian Chairil muncul lagi di depan S Sudjojono. Di tangannya membawa satu tube besar cat zinkwit.
Ia tidak cerita mendapatkan dari mana. Chairil langsung menyiapkan diri untuk dilukis dengan gaya portrait (potret diri).
Sudjojono bekerja dengan kuas dan kanvasnya. Chairil langsung bergegas pergi begitu keberadaanya sebagai model lukisan dirasa cukup.
Ia tidak pernah muncul lagi dalam waktu lumayan lama.
“Belakangan kami mendengar ia ditangkap Kenpeitai (Polisi rahasia Jepang), karena zinkwit itu dicurinya dari Yamamoto, seorang pelukis Jepang peranakan Perancis,” tulis Mia Bustam di buku Sudjojono dan Aku.
Usut punya usut kabar Chairil Anwar ditangkap polisi rahasia Jepang benar adanya.
Mia Bustam pada suatu hari melihat sendiri Chairil digiring dua orang Kenpeitai. Sebentar-sebentar popor karaben disodokkan pada tubuh Chairil disertai makian.
Chairil Anwar berjalan sempoyongan. Wajahnya sembab dengan pelupuk mata bengkak membiru. Mia Bustam melihat dengan mencuri-curi.
Ia khawatir akan menarik perhatian dua Kenpeitai. “Tapi saat itu kebencianku terhadap serdadu Jepang menjadi semakin memuncak,” kata Mia Bustam.
Chairil Anwar menutup mata di usia 27 tahun pada 28 April 1949 karena sakit. Jenazah pelopor Angkatan 45 itu disemayamkan di Pemakaman Umum Karet, Jakarta.
“Ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti kepercayaan harus diperjuangkan,” kata Chairil dalam puisinya.
Penulis: Solichan Arif