Bacaini.ID, BLITAR – Pertemuan kecil jelang Pemilihan Umum 1988 itu berlangsung di Jalan Cendana Jakarta Pusat.
Benny Moerdani, Sudharmono, serta Yoga Sugomo, kepala badan koordinasi intelijen negara (Bakin), berada dalam satu ruangan dengan Presiden Soeharto.
Umur Soeharto sudah 67 tahun. Sudah 22 tahun jadi penguasa tertinggi rezim Orde Baru. Ditakuti sekaligus disegani lawan maupun kawan politik.
Jenderal Yoga Sugomo tidak ingin Soeharto kembali nyapres di Pemilu 1988. Ia khawatir Soeharto akan jenuh dan lelah.
Ia menyatakan siap mendukung dan mengamankan siapapun kader yang ditunjuk sebagai pengganti Soeharto.
Suasana sontak tegang. Pernyataan Yoga langsung disanggah. Jenderal Soeharto harus maju kembali dalam Pemilu 1988. Di ruangan itu Soeharto mengunci mulut.
“Sementara Pak Harto (Soeharto) terlihat lebih banyak diam dan tidak mengambil sikap,” demikian dikutip dari buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar (2018).
Jenderal Yoga dan Soeharto memiliki hubungan yang dekat. Bukan sekedar bawahan dengan atasan atau teman sejawat.
Bagi Soeharto, Jenderal Yoga Sugomo adalah seorang sahabat sejati, bahkan sudah seperti saudara, sedulur sinorowedi.
Sama hubungannya dengan Ali Moertopo. Yoga melihat Soeharto telah melewati periode kekuasaan 1983-1988 dengan baik.
Yoga menilai periode 1983-1988 merupakan puncak keemasan kekuasaan Presiden Soeharto.
“Sesudah itu dikhawatirkan akan melemah,” demikian dikutip dari buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar.
Di ruangan itu Yoga menyampaikan sejumlah alasan Soeharto waktunya lengser meletakkan kekuasaan dengan baik-baik. Tidak perlu nyapres lagi.
Hasil analisa intelijen, sumber dan jaringan informasi Soeharto semakin menyempit. Pada sisi lain bisnis keluarga dan anak-anak Soeharto makin besar.
Rawan jadi sasaran tembak lawan-lawan politik. Yoga ingin melihat Soeharto menikmati masa tua dengan baik.
Situasi tegang, diwarnai pro kontra itu disaksikan Ibu Tien Soeharto yang kebetulan melintasi ruang pertemuan.
Ibu Tien Soeharto diam-diam mengamati dan memberi isyarat yang cenderung mendukung pikiran Jenderal Yoga.
Sementara Sudharmono dan Benny Moerdani tetap kukuh menyanggah pendapat Yoga. Soeharto pada akhirnya juga menolak usulan Jenderal Yoga.
Pada Pemilu 1988 Soeharto kembali mencalonkan diri sebagai Presiden RI dan kembali terpilih. Sudharmono dilantik sebagai wakil presiden.
Sejak itu hubungan Yoga dengan Soeharto dan Benny Moerdani berubah dingin. Jabatan Yoga sebagai Kepala Bakin tetap dipertahankan.
Pada Juni 1989 Jenderal Yoga menyatakan mundur dan memilih pensiun. Pada 21 Mei 1998 atau 10 tahun kemudian, yang dikhawatirkan Jenderal Yoga terbukti.
Soeharto dipaksa lengser dan berakhirlah kekuasaan Orde Baru.
Penulis: Solichan Arif