Bacaini.ID, KEDIRI – Ada 3 setan musuh kemanusiaan yang menurut Haji Mohamad Misbach atau Haji Misbach, harus mendapat sambitan “jumrah” yang keras.
Siapa mereka? Pemerintah kolonial Hindia Belanda dan raja atau susuhunan beserta antek-anteknya. Kemudian kapitalisme yang jahat. Dan yang ketiga, agamawan lamisan atau orang alim yang munafik.
Haji Misbach menyebutnya: Kaum Munafikun. Misbach merupakan tokoh Sarikat Islam (SI) dan pendiri surat kabar Medan Moeslimin (1915) kelahiran Kauman Surakarta 1876.
Dikutip dari berbagi sumber, pemikiran radikal itu diperoleh Misbach sepulang dari menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah.
Yang perlu diketahui, pada pertengahan tahun 1923 itu situasi di Jawa Tengah, utamanya Yogyakarta dan Surakarta, mencekam. Semangat perlawanan kaum pribumi berkobar di mana-mana.
Mengutip dari An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926, Takashi Shiraisi, kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Yogyakarta pada Mei 1923, disambut lemparan bom kepada kereta api.
Banyak orang berani melempari kantor-kantor pemerintah dengan kotoran. Potret-potret Ratu Wilhelmina dicopot, dilumuri dengan kotoran dan kata-kata celaan.
Sementara di Surakarta, jelang dan pasca perayaan Sekaten, sejumlah rumah dibakar. Bangsal perayaan sekaten dirobohkan. Peristiwa itu terjadi pada pertengahan Oktober 1923.
Haji Misbach disebut-sebut berada dibalik semua gerakan radikal itu. Lantas seperti apa rekam jejak Haji Misbach yang biasa dipanggil Haji Merah itu?
Terlahir dengan nama Ahmad, Misbach datang dari keluarga pedagang batik yang makmur dan religius.
Rumah tempat ia dilahirkan berada di sisi barat alun-alun utara, di depan keraton Kasunanan, di sebelah Masjid Agung.
Ahmad diketahui sempat berganti nama Darmodiprono saat menikah. Dan kemudian mengubahnya menjadi Haji Mohamad Misbach sepulang dari tanah suci Mekah.
Haji Misbach bergabung dengan SI Surakarta pada tahun 1912 dan aktif pada tahun 1914 setelah Mas Marco Kartodikromo mendirikan Indlandsche Journalisten Bond.
Ia menjadi seorang jurnalis sekaligus propagandis yang ulung. Melalui mimbar dan tulisan Misbach banyak memaparkan gagasan-gagasan tentang kemajuan Islam.
Pada Januari 1915 Haji Misbach mendirikan surat kabar bulanan Medan Moeslimin, yang 2 tahun kemudian disusul penerbitan surat kabar Islam Bergerak.
Pada saat yang sama terbit majalah Suara Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta di mana pejabat teras Muhammadiyah Yogya bernama Haji Fahrudin, juga menjadi distributor surat kabar Medan Moeslimin.
Pemikiran Misbach diketahui kian radikal ketika beririsan dengan Tjipto Mangoenkoesoemo di organ Insulinde.
Dengan kecapakan lisan dan tulisan, ia mengonsolidasikan kaum buruh dan petani di Kartasura, Ponggok, Tegalgondo dan Banyudono.
Haji Misbach yang kesohor sebagai pedagang batik juga menjadi penyokong dana gerakan. Ia tidak pernah lelah menyerukan: “Hempaskan pemerintah imperialisme yang bersekongkol dengan raja!”.
Sebagai muslim yang taat, Haji Misbach diketahui sangat mencintai Islam. Ia begitu mengagungkan Nabi Muhammad SAW dan di sisi lain mengagumi Karl Marx.
Marx di mata Misbach begitu berjasa membela rakyat miskin, telah mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan.
Kapitalisme telah merusak agama sehingga harus dilawan dengan historis materialisme.
Haji Misbach juga kecewa dengan lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa. Baginya melawan kapitalis dan antek-anteknya sama halnya berjuang melawan setan.
Haji Misbach memiliki tesis pemikiran: Islam akan bergerak maju jika melakukan konvergensi atau berjalan bersama dengan komunisme.
Dalam buku Haji Misbach Sang Propagandis: aksi propaganda di surat kabar Medan Moeslimin dan Islam bergerak (1915-1926), disebutkan Islam dan komunisme berjumpa dalam irisan sama-sama memperjuangkan masyarakat tanpa kelas.
Islam dan Komunisme sama-sama memihak kaum mustadhafin, kaum proletar, kaum papa, buruh tani, kaum tertindas.
Pandangan pemikiran Islam-Komunis Haji Misbach termanifestasikan dalam istilah Mas Marcokartodikromo: sama rata sama rasa. Di mana Islam dan Komunisme sama-sama egaliter.
Sesungguhnya, tulis Misbach, komunisme dan islamisme adalah penting bagi orang yang dirinya mengaku Islam dan komunis yang sejati, yakni suka menjalankan apa yang telah diwajibkan kepada mereka oleh agama dan komunis.
Dalam Medan Moeslimin yang terbit pada 1 April 1926, Haji Misbach menyatakan dalam tulisannya berjudul Nasehat:
“Agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya.
Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum, budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum”.
Itulah alasan Haji Misbach sangat memusuhi kolonialisme, kapitalisme yang jahat dan kaum agamawan lamisan atau orang alim yang munafik.
Melawan mereka sama halnya berjuang melawan setan. Itulah kenapa mereka harus disambit keras-keras seperti lemparan jumrah kepada setan.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda melihat Haji Misbach sebagai sosok yang berbahaya, terutama pemikirannya yang mengawinkan Islamisme dan Komunisme.
Kolonial Belanda memutuskan menangkap Haji Misbach dan membuangnya ke Manokwari, Papua, didampingi istri dan tiga anaknya.
Pada 24 Mei 1926, sosok “pendakwah” Islam Komunis itu menutup mata di tanah pengasingan, Manokwari. Haji Misbach dimakamkan di sebelah makam istrinya.
Penulis: Solichan Arif