Bacaini.ID, KEDIRI – Semangat Kartosoewirjo atau Kartosuwiryo masih menyala-nyala, namun raganya kian tak berdaya setelah lama berlari dan bersembunyi di hutan-hutan menghindari kejaran TNI masa Pemerintahan Soekarno.
Tubuh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, terlihat lebih ringkih saat enam regu tembak bersiap mengeksekusinya di kawasan Kepulauan Seribu Jakarta. Kartosoewirjo adalah Imam Besar gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII).
Maut sudah di ujung mata, namun tatapan Kartosuwiryo tetap tenang hingga pelatuk senjata api laras panjang ditarik dan Sang Imam Besar dinyatakan tutup usia.
Sosok Kartosuwiryo diketahui kelahiran Cepu, Jawa Tengah, keponakan tokoh kiri Mas Marco Kartodikromo, anak pedagang candu yang menimba ilmu pergerakan dari H.O.S Tjokroaminoto, mertua Soekarno saat sang Proklamator menikahi Siti Oetari.
Kelak, Bung Karno saat kuliah di Bandung menceraikan Siti Oetari lantaran kecantol Inggit Garnasih, istri Sanusi, sahabat Tjokroaminoto.
Dalam sepak terjangnya, Kartosuwiryo bersekutu dengan Kahar Muzzakar, kawan seideologi berpangkat Letnan Kolonel yang pernah jadi wakil komandan pasukan gerilyawan Jawa Timur, bekas pengawal Bung Karno yang kemudian mengobarkan perlawanan di Sulawesi Selatan.
Sepak terjang Kahar selesai pada 3 Januari 1954 setelah peluru TNI memberondongnya. Foto-foto kematiannya disebar luas ke publik namun keberadaan makamnya dibiarkan tetap misterius.
“Foto mayatnya disebar luaskan, tetapi lokasi makamnya disembunyikan untuk mencegah dijadikan lokasi berkumpul para simpatisan,” demikian dikutip dari buku Intel II Medan Tempur Kedua.
Kartosuwiryo dengan DI TII, termasuk PRRI dan Permesta adalah gangguan terhadapa kekuasaan pemerintahan Soekarno dan karenanya ditumpas. Bung Karno juga membubarkan Partai Masyumi dan PSI yang ditengarai terlibat.
Para tokoh gerakan yang dituding makar itu telah dilumpuhkan, namun para pengikut yang memperoleh amnesti, diam-diam masih meneguhi nilai yang diyakini. Cita-cita mendirikan negara Islam Indonesia dan anti komunisme.
Mereka mendapatkan momentum dalam peristiwa G30SPKI di mana kekuasaan Soekarno kemudian terguling. Mayjen Soeharto yang muncul sebagai dirigen, menumpas seluruh gerakan kiri yang selama ini jadi musuh politik pengikut DI TII, PRRI, Masyumi dan PSI.
Dengan hancurnya seluruh gerakan kiri, para eks PRRI, DI TII, Masyumi dan PSI seperti mendapat ruang kembali. Rezim Orde Baru yang naik pada tampuk kekuasaan secara cepat memperkuat kaki-kaki kekuasaanya.
Bukan hanya meringkas partai politik jadi tiga: PDI, PPP dan Golkar, melalui Letnan Kolonel Ali Moertopo, Soeharto menggelar operasi khusus. Para tokoh eks DI TII dan PRRI yang masih mendekam di penjara, didekati.
Sejumlah tokoh dibebaskan, di mana beberapa diantaranya direkrut unit operasi khusus di bawah komando Ali Moertopo. “Ini karena Moertopo (Ali Moertopo) tengah mencari mencari cari kelompok pemilih yang akan bertindak untuk kepentingan Golkar pada pemilu 1971”.
Praktisnya, tiket kebebasan yang diberikan kepada para fundamentalis kanan, harus menguntungkan kepentingan politik orde baru, utamanya pendulangan suara Golkar di pemilihan umum 3 Juli 1972. Sesuai prediksi, Golkar menang telak.
Namun semuanya tidak berlangsung mulus. Rezim orba semakin sulit mengontrol orang- orang eks Darul Islam. Seperti Haji Ismail Pranoto atau populer dipanggil Hispran, Adah Djaelani dan Dodo Muhammad Darda bin Kartosuwirjo.
Hispran dan Dodo berani terang-terangan menolak keras pendekatan pemerintahan Soeharto. Sementara Danu Mohammad Hassan, salah satu tokoh penting Darul Islam yang mendapat amnesti, diam diam memilih jadi informan Ali Moertopo. Juga Ateng Djaelani yang bergabung ke Golkar dan diberi job bisnis mengurusi jaringan minyak tanah.
Kendati demikian, para veteran Darul Islam tetap sulit terkendali. Pada bulan Januari tahun 1974, beberapa veteran terlacak ada di belakang peristiwa kerusuhan penolakan Jepang atau dikenal peristiwa Malari.
Jelang pemilu tahun 1977 muncul gerakan kekerasan yang mengatasnamakan Momok Revolusioner di wilayah Sumatera. Gerakan ini meledakkan gedung bioskop, bar, dan gereja Medan. Termasuk gereja baptis dan masjid di Sumatera Barat.
Meski tidak langsung, diduga ada benang merah dengan orang-orang Darul Islam. Pada saat yang sama mereka membentuk wadah baru bernama Komando Jihad, sekaligus isyarat suara mereka tak lagi utuh ke Golkar.
Beberapa di antaranya mulai bergeser ke PPP, meskipun tidak terjadi pergeseran suara pemilih yang signifikan.
Pembentukan Komando Jihad diketahui tak lepas dari campur tangan Ali Moertopo, bahkan sebagai strategi menjinakkan Darul Islam. Tujuannya agar aspirasi politik tersalurkan dan melupakan jalan kekerasan.
Pangdam Jawa Barat Jendral Himawan Soetanto meragukan keberhasilan strategi itu dan justru mengkhawatirkan. Pada peringatan HUT ABRI di Jakarta 1977, Himawan bersama Pangdam di Jawa lainnya terang-terangan mengonfrontasi Ali Moertopo.
“Kami semua khawatir ia (Ali Moertopo) membiarkan Komando Jihad berkembang tanpa diawasi di daerah,” kata Himawan dalam buku Intel II Medan Tempur Kedua.
Ali Moertopo merespon dengan meminta para pangdam untuk tidak merasa khawatir. Moertopo berdalih Komando Jihad untuk melawan kekuatan komunis yang masih tersisa. Kemudian juga dipakai untuk pendulangan suara Golkar di pemilu.
Sementara yang terjadi di lapangan, Komando Jihad tidak hanya memerangi orang komunis, tapi juga mengambil kesempatan menghidupkan kembali organisasi yang sempat lumpuh.
“Ini seperti permainan kendali siapa atas siapa”.
Entah apa yang terjadi. Sebelum pemilu 1977 Komando Jihad tiba- tiba dioperasi. Sebanyak 185 orang ditangkap di berbagai provinsi. Perinciannya, 23 orang di Jawa Timur yang menyebut sebagai Barisan Jihad.
Kemudian 105 orang diamankan di Jakarta, 38 orang di Jawa Barat, dan 19 orang di Jawa Tengah. Di Sumatera, petugas menggerebek kelompok Momok Revolusioner. Secara organisasi, Komando Jihad telah lumpuh.
Hingga akhir tahun 70-an, semua gerakan yang terinspirasi Komando Jihad, memilih tiarap dan sembunyi.
Seorang warga Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar bercerita orang tuanya pernah ditangkap tentara lantaran dituduh sebagai anggota Komando Jihad. Seingat dia, mereka yang terlibat Komando Jihad dilabeli sebutan Sampul D.
Tidak ada yang tahu pasti arti Sampul D. Mungkin semacam kode ET (eks tapol) pada KTP orang-orang yang dituduh PKI. “Imbasnya, anak anak dari mereka yang terlibat Komando Jihad tidak bisa masuk PNS,” tuturnya tanpa bersedia menyebut nama.
Penulis: Solichan Arif