Bacaini.ID, TULUNGAGUNG – Burung perkutut bagi Imron Mahmudi, warga Desa Kepuh, Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung Jawa Timur bukan sekedar hiburan, tapi juga sumber kehidupan.
Imron berlatar belakang pekerja migran Indonesia (PMI) di Korea Selatan. Ia investasikan hasil keringatnya sebagai PMI untuk berternak burung perkutut jenis Bangkok.
“Sebenarnya burung perkutut bangkok dan lokal tidak jauh beda. Hanya ukuran dan suaranya saja yang berbeda,” tutur Mahmud, sapaan akrabnya.
Mahmudi cerita, pilihan berwirausaha perkutut berangkat dari keresahan. Apa yang akan dikerjakan ketika pulang jadi pangkal keresahan. Sebab tidak mungkin terus-terusan menjadi PMI.
“Saya melihat banyak teman yang bingung bekerja apa setelah pulang dari luar negeri. Itu yang membuat saya resah,” ungkapnya.
Gagasan beternak burung perkutut diakui melintas begitu saja. Apalagi Mahmud sudah lama memiliki hobi memiara burung. Pada saat yang sama kebetulan juga punya piaraan burung latin Geopelia Striata.
“Saya sejak sebelum berangkat Korea Selatan sudah senang dengan perkutut, kalau masalah perawatan sih insyaallah tidak perlu belajar,” katanya.
Sebelum pulang ke Tulungagung dan memutuskan tak kembali, rencana beternak perkutut dirancang. Mulai kandang, bibit unggul dan perintilan lainnya.
Mahmud berfikir begitu pulang ke tanah air, rencananya beternak perkutut bisa segera dijalankan.
“Saya membangun kandang ini saat masih di Korea Selatan. Membeli beberapa bibit unggul saat masih di sana dan saya titipkan ke teman,” terangnya.
Usaha itu dimulai tahun 2019 dan terus berjalan hingga saat ini. Di kandang yang berlokasi di belakang rumah, Mahmud memiliki ratusan ekor perkutut Bangkok.
Perkutut Bangkok memiliki siklus reproduksi bertelur 2-3 kali dalam setahun dengan hasil dua anakan setiap kali bertelur.
Tidak semua anakan perkutut, kata Mahmud berkualitas bagus meski datang dari indukan yang bagus. Karenanya harga jualnya juga beragam.
Untuk anakan yang bermutu bagus harganya kisaran Rp 500 ribu hingga jutaan dan biasanya dikirim ke luar kota atau dibeli penghobi di Tulungagung.
Sementara yang mutu biasa seharga Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu per ekor yang biasanya banyak diambil tengkulak dan dijual lagi di pasar burung.
“Presentasinya mungkin hanya 20-30 persen anakan yang berkualitas dari seluruh anakan di kandang,” jelasnya.
Lantas apa tantangannya? Mahmud menyebut permintaan pasar yang fluktuatif dan susah ditebak. Saat lagi baik, permintaan tinggi.
Tapi juga tidak jarang menghadapi situasi sepi dengan harga yang kurang bersahabat.
“Karena burung perkutut kan untuk memenuhi hobi masyarakat. Kalau lagi booming, permintaan banyak dan harganya juga bagus,” pungkasnya.
Penulis: Fikri
Editor: Solichan Arif