Bacaini.ID, TUBAN – Entah kenapa dua ekor anjing itu diberi nama Abdul Qohhar dan Qomaruddin. Tidak ada yang mengerti alasannya.
Para ulama di Tuban sontak geger, lantaran nama yang dipakai punya kesamaan dengan nama penghulu dan katib di wilayah Tuban, Jawa Timur.
Syekh Mutamakkin si pemilik anjing dituding telah melakukan penistaan, dan tuduhan melebar pada penyimpangan ajaran Islam.
Syekh Mutamakkin diketahui mengajarkan wahdatul wujud atau ajaran manunggaling kawula gusti kepada rakyat yang baru masuk Islam.
Ia ajarkan tasawuf dengan pendekatan Serat Dewaruci: kisah perjalanan Bima, tokoh Pandawa mencari air kehidupan hingga berjumpa sang pencipta.
Bukan hanya dianggap sembrono, oleh sejumlah ulama di Tuban, Syekh Mutamakkin dituduh sesat.
Amangkurat IV, penguasa keraton Mataram Islam diminta untuk menjatuhkan hukuman.
Hukuman Bakar
Syekh Ahmad al-Mutamakkin diperkirakan lahir tahun 1645 di Desa Cebolek (sekarang Desa Winong), Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Dinisbatkan pada nama desa kelahiran, masyarakat Tuban biasa memanggil dengan sebutan Ki Cebolek atau Mbah Mbolek.
Mutamakkin berarti orang yang meneguhkan hati atau orang yang diyakini kesuciannya. Ia mendapat nama itu sepulang menimba ilmu dari Timur Tengah.
Selama di Timur Tengah berguru kepada Seh Jen atau Syekh Zain atau Syekh Muhammad Zain al-Mizjaji al-Yamani, tokoh Tarekat Naqsyabandiyah.
Juga berguru kepada Syekh Yusuf Makassar (wafat 1699). Sepulang dari Timur Tengah ia menetap di Kajen, Pati Jawa Tengah lantaran kapalnya terdampar.
Ayah Syekh Mutamakkin adalah Pangeran Benowo II atau Raden Sumahadinegara yang pada tahun 1617 hijrah ke Giri (Gresik). Sementara ibunya trah Sayyid Ali Bejagung, Tuban.
Karenanya Syekh Mutamakkin memiliki nama ningrat Sumahadiwijaya.
Dalam serat Cebolek karya Raden Ngabehi Yosodipuro I (1729-1803), tudingan Syekh Mutamakkin sesat dilaporkan raja Mataram Islam, Susuhunan Amangkurat IV (1719-1726).
Termasuk polemik dua ekor anjing piaraan Syekh yang diberi nama Abdul Qohhar dan Qomaruddin.
Katib Anom Kudus, ulama keraton Mataram Islam meminta sepak terjang Mutamakkin dihentikan. Seruannya didukung Katib Witana asal Surabaya dan Katib Busu dari Gresik.
Dalam Serat Cebolek posisi Syekh Mutamakkin diposisikan serupa pesakitan yang tidak mendapat ruang untuk membela diri.
“Serat Cebolek mewakili cerita dari pihak penguasa,” demikian dikutip dari buku Napak Tilas Masyayikh Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura.
Pada masa Pakubuwono II (1726-1749), desakan para ulama untuk menghukum Syekh Mutamakkin kembali bergolak dan semakin kencang.
Mereka menyamakan kesesatan Syekh Mutamakkin dengan Syekh Siti Jenar (Masa Kerajaan Demak) dan Syekh Amongraga (Masa awal Mataram Islam).
Para ulama yang dekat dengan kekuasaan Mataram Islam itu mengusulkan Syekh Mutamakkin untuk dijatuhi hukuman bakar.
Pakubuwono II merespon gejolak ini dengan memanggil Syekh Mutamakkin ke istana, diminta menjelaskan ajaran tasawuf yang didedah dalam Serat Dewaruci.
Ia diadili di depan para ulama, terutama Katib Anom Kudus yang dari awal paling semangat melontarkan tudingan sesat. Keduanya kemudian berdebat.
Syekh Mutamakkin memberi tafsiran Serat Dewaruci yang berintisari jalan menuju pencapaian insan kamil. Ia membuktikan sufisme dan syariah tidak meniadakan satu sama lain.
Teks Kajen menyebut Syekh Mutamakkin terbukti lebih alim sekaligus lebih menguasai ilmu tasawuf ketimbang Katib Anom Kudus yang lebih mengedepankan syariat.
Polemik pun dianggap selesai dan perdebatan yang berlangsung hari Jumat itu ditutup dengan menunaikan ibadah salat Jumat bersama.
“Kebijaksanaan dan keadilan sang raja sebagai seorang sufi digambarkan dengan pengampunan yang diberikan kepada Al-Mutamakkin,” demikian dikutip dari buku Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren.
Syekh Mutamakkin wafat tahun 1740 dan dimakamkan di Kajen, Pati Jawa Tengah.
Dari berbagai sumber yang dihimpun, keturunan Syekh Mutamakkin terbagi atas tiga keluarga besar (bani): Siroj, Nawawi dan Salam.
Dari dzuriyat Syekh Mutamakkin banyak lahir ulama sekaligus pendiri pesantren di Kajen, Pati. Salah satunya almarhum KH Sahal Mahfudz, mantan Rais Aam PBNU.
Penulis: Solichan Arif