Bacaini.ID, KEDIRI – Pengaruh media sosial tak dipungkiri dapat merusak mental, terutama untuk individu yang belum dewasa dan masih labil.
Kecenderungan orang untuk mengunggah segala hal yang terlihat sempurna, menjadikan standar media sosial seringkali tak sesuai realita yang kebanyakan terjadi.
Standar hidup bahkan persepsi tentang kecantikan, berpatok pada media sosial. Inilah yang menjadikan semakin maraknya kaum muda yang terlibat dalam isu kesehatan mental.
Seperti halnya ‘body dysmorphia’ atau dalam bahasa medis disebut Body Dysmorphic Disorder (BDD).
Kondisi gangguan kesehatan mental yang membuat penderitanya terobsesi secara berlebihan dengan kekurangan kecil atau bahkan imajiner pada penampilan fisiknya.
Padahal secara nyata, apa yang menjadi kekhawatiran tersebut bukanlah hal penting dan bahkan orang lain tidak melihatnya sama sekali atau menganggapnya sepele.
Baca Juga:
- Apa itu Honeymoon Cytitis? Yang Harus Diwaspadai Pengantin Baru
 - Hidden Gem di Blitar, Wisata Alam yang Belum Tersentuh Orang Luar
 - Tip Menghadapi Pasangan Introvert Seperti Raisa
 
Gejala Body Dysmorphia
Mengalami body dysmorphia bukan berarti seseorang menjadi narsis dan sombong. Namun lebih kepada ketidaknyamanan dengan penampilan fisik yang dianggap mengganggu atau bahkan ‘cacat’.
Dikutip dari National Health Service (NHS), beberapa tanda yang mengindikasikan kondisi body dysmorphia atau BDD adalah:
• Terlalu khawatir pada area tubuh tertentu terutama wajah. Misal, merasa pori-pori kulit terlalu besar, atau hidung pesek, atau posisi mata yang tidak simetris.
• Menghabiskan banyak waktu untuk membandingkan penampilan diri dengan orang lain. Selalu mengeluh atau membicarakan kekurangan fisik dan merasa tidak puas.
• Sering melihat diri sendiri di cermin, atau bahkan menghindari cermin karena ketakutan terlihat tidak sempurna atau anggap diri sendiri jelek.
• Melakukan banyak upaya untuk menyembunyikan ‘kekurangan’. Memakai riasan tebal, terobsesi dengan skincare atau melakukan banyak cara untuk memilih kulit putih.
• Bereksperimen berlebihan pada tampilan fisik agar terlihat sempurna sesuai standar yang dianut. Melakukan sedot lemak, pembesaran area tubuh tertentu, filler, botox atau facelift padahal masih usia muda.
Mengalami body dysmorphia secara serius memengaruhi kehidupan sosial. Akibatnya, penderita seringkali mengalami depresi, menyakiti diri sendiri bahkan berpikir untuk mengakhiri hidup.
Faktor Penyebab Body Dysmorphia
Secara medis, faktor penyebab BDD diduga karena adanya faktor genetik dan trauma masa lalu.
Seseorang yang memiliki kerabat BDD, gangguan obsesif kompulsif (OCD) atau depresi, lebih memungkinkan untuk mengembangkan body dysmorphia.
Begitupun dengan individu yang memiliki trauma masa lalu terkait dengan persepsi diri. Bullying, pelecehan, intimidasi yang terkait dengan kondisi fisik seperti diejek jelek, pesek hitam dan lainnya, juga lebih mungkin mengembangkan body dysmorphia.
Namun seiring perkembangan zaman, media sosial dituding sebagai biang utama maraknya gangguan mental ini.
Standar kecantikan yang dibangun oleh industri kecantikan yang didukung para influencernya, membuat anak-anak muda yang masih labil menjadi bias antara realita dan imajinasi.
Bahkan kasus-kasus pencurian skincare oleh remaja perempuan, seringkali terjadi karena keinginan untuk tampil cantik seperti tontonan mereka sehari-hari di media sosial.
Untuk kelompok yang lebih maju dan terdidik, tindakan operasi bedah plastik menjadi pilihan utama.
Bahkan di banyak negara maju, operasi bedah plastik yang mengizinkan remaja di bawah umur, menjadi kontroversi dan masih menjadi perdebatan panas.
Peran Media Sosial Sebagai Penyerang ‘Virus’ Body Dysmorphia
Standar kecantikan kekinian dibangun dari media sosial yang mudah diakses oleh siapapun. Media sosial dituding menjadi pelaku utama penyebar ‘virus’ BDD ini. Beberapa alasannya:
• Filter foto atau video yang ada dalam aplikasi. Orang lebih menyukai memakai filter karena lebih terlihat ‘sempurna’.
Standar wajah yang sempurna diciptakan oleh filter, hidung kecil, bibir merah merona, mata besar dengan bulu mata lentik, kulit putih dan lainnya.
• AI beauty apps, aplikasi editing foto untuk membuat penampilan seseorang menjadi ideal. Badan langsing, kulit putih mulus, membuat seseorang lebih menyukai dirinya versi imajiner dan membenci versi aslinya.
• Standar kecantikan Korea yang beberapa tahun terakhir sangat berpengaruh secara global seiring melejitnya K-pop dan idol-idolnya.
• Selebriti yang semakin terbuka melakukan operasi bedah plastik. Tindakan para selebriti tersebut secara tidak langsung menjadi contoh bagaimana ‘normal’-nya tampil cantik.
Hasilnya, menurut data WHO dan beberapa jurnal psikiatri, kasus body dysmorphia naik hingga 300% di kalangan remaja perempuan sejak tahun 2020.
Apa Yang Harus Dilakukan Jika Memiliki Gejala Body Dysmorphia
Jika merasa mengalami gejala BDD, segera temui dokter umum untuk mendapatkan rujukan ke spesialis kesehatan mental.
Penangan secara medis penting dilakukan agar terhindar dari kondisi yang lebih parah dikemudian hari.
Namun langkah medis yang diambil juga perlu dibarengi dengan kesadaran diri untuk berhenti doom scrolling media sosial.
Lakukan detox media sosial selama satu minggu dan alihkan energi untuk kegiatan lain yang lebih produktif.
Jika pemicu BDD datang dari lingkungan sekitar, misalnya bullying, konsultasikan dengan orang yang lebih dewasa untuk menangani teman-teman yang mengganggu.
Hindari pertemanan toksik yang merusak kesehatan mental.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif
	    	
		    
                                



