KEDIRI – Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai peringatan Hari Ibu. Melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959, Soekarno memberi penghormatan kepada perempuan Indonesia yang mengorganisir diri melawan penjajah.
Susan Blackburn dalam buku Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang (2007) menyebut peringatan Hari Ibu tak lepas dari momentum berkumpulnya ratusan perempuan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero, 22 Desember 1928. Mereka membahas haak-hak perempuan terkait pendidikan dan pernikahan yang dinilai timpang dibanding kaum laki-laki.
Kongres ini dihadiri wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond.
Di forum itu pula kata “Iboe” muncul sebagai judul pidato Djami dari organisasi Darmo Laksmi. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalaman masa kecilnya yang dipandang rendah karena ia anak perempuan. Jika seorang anak hendak dilahirkan, Djami berkata, “bapak dan ibunya meminta kepada Tuhan, laki-lakilah hendaknya anaknya.”
Pada era kolonial, peran perempuan memang tak sepadan. Mereka tak cukup mendapat askes pendidikan lantaran distigma sebagai pengurus dapur. Padahal seorang perempuan yang berpendidikan akan turut mempengaruhi kualitas pendidikan anak-anaknya.
Sejarahwan Kediri, Achmad Zainal Fachris mengatakan, politik kebangsaan semakin kencang disuarakan setelah Kongres Perempuan Indonesia berubah menjadi organisasi. Pemenuhan hak politik perempuan untuk memilih dan dipilih dalam parlemen Hindia Belanda menjadi langkah selanjutnya dalam perjuangan mereka.
Sampai ditetapkannya Hari Ibu pada 22 Desember dalam Kongres Perempuan Indonesia ke-III pada tahun 1938, menjadi momentum peringatan perjuangan kaum perempuan Indonesia pada masa penjajahan Belanda. “Kongres 1928 ini akhirnya dibuat acuan oleh pemerintahan Indonesia pada era presiden Soekarno,” jelas Fachris kepada Bacaini.id, Selasa, 22 Desember 2020.
Dipelopori PKI?
Sejumlah kalangan menyebut jika gerakan perempuan di Indonesia telah lebih dulu dipelopori oleh Partai Komunis Indonesia. Mereka telah membahas peran perempuan melawan kapitalis dan kolonialis pada Kongres PKI yang berlangsung tanggal 7 – 10 Juni 1924. Kongres ini disebut sebagai cikal bakal Kongres Perempuan pertama yang akhirnya memunculkan gerakan perempuan Indonesia.
Pendapat tersebut dibantah Sigit Widyatmoko. Sejarahwan Kediri ini memastikan tidak ada hubungannya Hari Ibu dengan PKI.
Namun ia tidak menampik bahwa embrio komunis pada tahun yang sama memang sudah ada. Tetapi untuk Hari Ibu sendiri adalah kepentingan banyak pihak yang menginginkan perempuan memiliki haknya setara dengan pria.
“Kongres perempuan ini bukan kepentingan satu oraganisasi saja namun ini merupakan kepentingan beersama untuk melawan penjajahan,” katanya.
Sigit juga memastikan bahwa pada masa itu PKI belum ada. Organisasi yang muncul adalah Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), yang kelak pecah menjadi dua golongan, dimana salah satunya adalah Perserikatan Komunis di Hindia (PKH).
“Kalau ditarik dengan PKI nanti ada banyak benturan kepentingan. Namanya juga partai, mereka punya kepentingan. Ini nanti yang akan mencederai kesakralan Hari Ibu itu sendiri,” pungkasnya.
Jamu IBOE
Nama perusahaan jamu tradisional PT. Jamu IBOE Jaya juga tak luput dari stigma Hari Ibu. Meski nyata-nyata tak memiliki keterkaitan dengan sejarah pergerakan perempuan, namun filosofi Ibu menjadi alasan pemilihan nama perusahaan jamu tersebut.
Mengutip dari laman resmi PT. Jamu IBOE Jaya, sejarah pendirian perusahaan ini tak lepas dari kisah harmonisnya hubungan seorang anak dengan ibunya. Nama IBOE merupakan bentuk rasa hormat seorang anak Siem Tjiong Nio pada Ibunya Tan Swan Nio, keduanya pendiri perusahaan ini.
Sebuah pengakuan bahwa hanya melalui perhatian, pemeliharaan, kasih sayang, dan kesetiaan seorang ibu, maka seorang anak akan tumbuh berkembang dengan sehat. PT. Jamu IBOE Jaya menganalogikan hal ini dalam dunia kesehatan, sebagai ibu dunia kesehatan masyarakat. Figur Ibu, merupakan simbol dan sumber dari segala yang hidup.
Penulis: Karebet, HTW
Editor: HTW