KEDIRI – Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan membuat para pelajar dan orang tua putus asa. Tak hanya bosan, hasil pembelajaran online juga dirasa makin tak maksimal.
Sejumlah pelajar dan orang tua mengeluhkan lamanya kegiatan belajar di rumah. Mereka menganggap sekolah online tak lagi menjadi solusi belajar, selain pemberian tugas yang jarang dikoreksi.
Tutik Widayati, warga Kelurahan Botolengket, Kecamatan Mojoroto Kota Kediri adalah salah satu orang tua siswa yang frustasi. Di tengah kesibukannya bekerja sebagai pengelola kedai makan, Tutik harus menemani dua anaknya belajar online. “Jika tidak diawasi, jatuhnya main game,” kata Tutik yang memiliki dua anak yang belajar di sekolah dasar.
Tutik menjelaskan, sejak penyelenggara sekolah memutuskan melakukan pembelajaran online, dia harus membeli dua unit telepon seluler sekaligus. Sebab jam belajar kedua anaknya berlangsung bersamaan.
Meski mendapat bantuan paket data dari sekolah, pembelian gadget ini cukup memberatkannya. Saran pemerintah untuk menggunakan satu gadget bersama-sama pada kenyataannya tak sesederhana praktiknya. “Kalau kumpul temannya pasti main dan harus bergerombol. Ini lebih bahaya dari duduk di bangku sekolah yang masih berjarak,” kata Tutik.
Ia menambahkan, pembelajaran online juga menguburkan keinginannya untuk membatasi penggunaan gadget pada anak. Padahal selama ini dia berusaha mencegah anak-anaknya memakai gadget agar tidak kecanduan.
Tutik pun mempertanyakan efektivitas pembelajaran online yang dilakoni anaknya. Tak jarang mereka bingung dengan penyampaian materi secara daring. “Anak-anak jadi nggampangne karena merasa tidak diawasi gurunya,” kata Tutik.
Ia berharap pemerintah mulai memikirkan untuk membuka kembali kegiatan belajar di sekolah. Dengan penerapan protokol yang ketat, serta pengaturan jam belajar untuk mengurangi jumlah siswa, dia percaya hal itu jauh lebih efektif dibanding belajar di rumah.
Sebab pada kenyataannya anak-anak tersebut justru bermain-main dan berinteraksi dengan leluasa di luar sekolah. Bahkan beberapa pelajar tingkat SMP dan SMA memilih nongkrong di café atau warung untuk belajar online. Alasannya mencari wifi gratis. “Di luar sekolah malah tidak terkontrol,” kata Tutik.
Psikolog Kristika Satyaruni M.Psi mengakui situasi itu. Bahkan dia menangkap adanya sebagian orang tua yang justru kerepotan dengan pembelajaran di rumah.
“Mereka (orang tua) juga harus mendampingi tugas dan pekerjaan. Merasa over load dan rentan stres. Jika stres ini tidak dikelola dengan baik akan berkelanjutan menjadi lebih sensitive. Mudah marah dan tak menutup kemungkinan akan terjadi kekerasan pada anak,” kata Kristika.
Namun begitu, ada juga dampak positif dengan pembelajaran daring ini. Menurut Kristika, orang tua dan anak memiliki banyak waktu untuk membangun kedekatan psikologis. Terlebih lagi jika selama in orang tua sibuk bekerja.
Kristika berharap pemerintah segera membuat jalan keluar dari kebuntuan sekolah daring ini. Orang tua, anak, dan pihak sekolah harus duduk bersama menyusun skema belajar yang tidak membebani. Dan sisi lain tuntutan kurikulum yang ditetapkan sekolah tetap bisa dituntaskan. “Pada prinsipnya belajar harus happy, baik orang tua, anak, dan gurunya,” pungkas Kristika. (IK)
Comments 1