Segar dan kolonial adalah padanan kata yang tepat untuk menggambarkan perkebunan kopi Karanganyar. Berada di 12 kilometer utara Kota Blitar, tak jauh dari kawasan Candi Penataran, perkebunan di Dusun Karanganyar, Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar ini menjadi destinasi wisata yang ikonik.
Dibuka dengan gapura Selamat Datang sebagai penanda memasuki kawasan perkebunan kopi, deretan pohon palem berjajar di kanan kiri jalan beraspal. Portal besi yang dipasang melintang di bawah gapura memaksa pengunjung berjalan kaki menikmati pemandangan alam menuju lokasi pengolahan kopi tersohor di era penjajah.
Kurang dari lima menit perjalanan lepas area parkir, suasana terasa berbeda. Deretan bangunan tua menyerupai benteng dan rumah Loji yang mengelilingi kolam air mancur mengingatkan pada film perjuangan era penjajahan. Sulit dipercaya jika semua bangunan itu benar-benar peninggalan Belanda, lengkap dengan detil ornament dan perabot sisa penjajah.
Bangunan benteng yang disulap menjadi café menjadi pemandangan pertama saat menginjakkan kaki di perkebunan kopi Karanganyar. Berseberang jalan terpisah kolam air mancur, bangunan besar dengan beberapa pintu kayu menjadi bangunan utama tempat wisata sejarah ini. Di atasnya tertulis “De Karanganjar Koffieplantage, Blitar, NY Harta Mulia”.
Tepat di sisi kiri bangunan menyerupai aula, sebuah Rumah Loji tampak terawat sempurna. Di jaman penjajah, Rumah Loji kerap dijadikan lokasi pertemuan atau rapat tersembunyi. Rumah ini dilengkapi teras, ruang tamu, ruang pertemuan yang cukup besar, serta dua buah kamar tidur. Salah satunya adalah kamar yang menyimpan benda-benda pribadi milik Proklamator Bung Karno yang dibeli dari Hotel Indonesia di kamar nomor 806. Diantaranya adalah radio, lukisan, beraneka keris, hingga tempat tidur yang pernah dipergunakan sang presiden.
Menurut Mbah Simen, kakek berusia 81 tahun yang bertugas sebagai penjaga sejak tahun 1955, rumah Loji ini masih ditempati hingga kini. Bukan oleh Tuan Belanda yang raib puluhan tahun silam, melainkan anak cucu dari pengelola perkebunan kopi yang hingga sekarang masih memegang hak guna usaha (HGU) perkebunan itu. Dia adalah keluarga Herry Noegroho, mantan Bupati Blitar periode 2006 – 2011 dan 2011 – 2016.
Konon, menurut kisah Mbah Simen, perkebunan kopi ini dibangun oleh orang-orang Belanda dengan melibatkan warga pribumi sebagai tenaga produksi dan staf kantor. Salah satu staf kantor yang paling menonjol adalah Mohamad Rosadi atau biasa disapa Pak Deni oleh karyawannya. Dia adalah ayah dari Herry Noegroho. “Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, kepemimpinan pabrik dipegang Pak Deni,” tukas Mbah Simen.
Kala itu perkebunan Karanganyar memasuki masa kejayaan, dimana produktivitas dan kualitas kopi yang dihasilkan memenuhi pasar domestik. Salah satu komplek perkebunan yang paling fenomenal belabel Kebun Y bahkan mampu menghasilkan 1,5 ton kopi jenis Robusta dalam sekali panen.
Sayang kejayaan kopi Robusta Karanganyar kini telah pudar. Berdalih persoalan manajemen yang tak kunjung usai, satu per satu pekerjanya angkat kaki. Mbah Simen adalah satu dari segelintir sisa karyawan yang mengabdikandiri sampai sekarang. Mengawali karier sebagai pekerja kebun, kini Mbah Simen dipercaya menjadi penjaga keamanan.
Untuk menutupi tersungkurnya produksi kopi sebagai cirri khas perkebunan, pengelola Karanganyar membuka café dan sejumlah wahana out bond. Masih mengandalkan kekuatan kolonial, café yang setiap hari tak pernah sepi kunjungan ini didesain dengan gaya Belanda. Seluruh pramusajinya diwajibkan mengenakan pakaian Belanda, lengkap dengan seragam, topi, celana tiga perempat, hingga sepatu licin dengan kaos kaki setinggi lutut.
Soal rasa tak perlu dicemaskan. Deretan menu yang ditawarkan menjanjikan rasa yang tak abal-abal. Pemilik café cukup serius menyiapkan kuliner mereka untuk mengimbangi aura yang sangat kuat. “Kami akan terus mengembangkan tempat ini sebagai destinasi wisata sejarah,” kata Herry Noegroho yang tak pelit berfoto dengan pengunjungnya. (*)