KEDIRI – Angka perceraian di Kabupaten Kediri pada masa pandemi melonjak tajam. Faktor ekonomi menjadi alasan terbesar para istri menggugat cerai suaminya.
Tingginya jumlah istri yang mengajukan gugatan cerai ini terlihat dari data yang disampaikan Pengadilan Agama Kabupaten Kediri. Dalam kurun waktu Januari – November 2020, jumlah perceraian yang diputus pengadilan mencapai 3.624 pasangan.
Dengan hari kerja Senin – Jumat, Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri rata-rata menerima pengajuan cerai sebanyak 21 pasangan setiap hari. “Jumlah tersebut belum termasuk untuk bulan Desember yang belum direkap,” kata Munasik, Humas Pengadilan Agama Kabupaten Kediri, kepada Bacaini.id, Senin, 21 Desember 2020.
Menurut Munasik, jumlah gugatan cerai yang diajukan istri lebih tinggi dibanding talak cerai yang diajukan suami. Sedangkan penyebab atau alasan pengajuan gugatan yang paling tinggi adalah ekonomi, yakni mencapai 2.609 kasus. Alasan kedua adalah perselisihan yang tak pernah mencapai permufakatan dengan jumlah 549 kasus.
Faktor ekonomi meningkat tajam dibanding periode tahun 2019 yang disampaikan istri. Ini menunjukkan betapa pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini telah memukul perekonomian masyarakat hingga memicu perceraian.
Sedangkan alasan kedua yakni perselisihan yang tak menuai perdamaian, rata-rata dipicu oleh keberadaan orang ketiga dalam rumah tangga. Gugatan cerai yang diajukan istri ini akibat suaminya tergoda perempuan lain atau pelakor (perebut laki orang).
“Untuk kasus orang ketiga di Kediri memang terhitung tinggi, apalagi sejak adanya gadget yang semakin mempermudah orang untuk melakukan tindakan perselingkuhan,” kata Munasik.
Selain dua alasan di atas, kasus perceraian yang ditangani Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Di tahun ini kasus tersebut sebanyak 76. Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya dengan kasus sebanyak 56.
Dari segi usia, mereka yang mengajukan perceraian berkisar di usia produktif, antara 20 – 35 tahun dengan usia pernikahan relatif baru.
Munasik menjelaskan, setiap pasangan sebenarnya telah mengetahui titik permasalahan dalam rumah tangganya. Namun perceraian tetap tidak terelakkan akibat banyaknya masalah yang menumpuk. “Masalahnya mereka membiarkan setiap masalah itu sampai akhirnya menjadi besar,” katanya.
Dia berharap fenomena ini mendapat perhatian pemerintah daerah setempat. Terutama memberikan pembekalan kepada calon pengantin agar menciptakan daerah yang memiliki tingkat perceraian rendah.
Penulis: Karebet
Editor: HTW