Bacaini.ID, KEDIRI – Gus secara etimologis berasal dari kata Gusti yang dalam perkembangannya lazim dipakai untuk menyebut putra kiai, pimpinan atau pengasuh pondok pesantren (ponpes).
Kendati demikian ada yang mengimprovisasi secara bebas, Gus berasal dari kata Bagus (Tampan). Sebutan Gus diketahui berlaku akrab di lingkungan masyarakat santri maupun “abangan” di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Mulai kawasan Mataraman (eks Karsidenan Kediri dan Madiun), kawasan Arekan (Malang, Jombang, Mojokerto dan sekitarnya), kawasan Medangkungan atau Metahun (Bojonegoro, Tuban dan sekitarnya), istilah Gus dikenal akrab.
Begitu juga melekat di masyarakat kawasan Pandalungan atau Tapal Kuda (Jember, Lumajang, Probolinggo dan sekitarnya). Sedikit berbeda di masyarakat Madura, di mana mereka lebih suka memanggil Lora daripada Gus.
Sementara di Jawa Barat, masyarakat Sunda lebih senang memanggil putra kiai dengan sebutan Ajengan.
Sebetulnya dari mana asal-usul atau sejarah sebutan Gus itu berasal? Dihimpun dari berbagai sumber, sebutan Gus pertama kali muncul di lingkungan keraton Mataram Islam, utamanya masa pemerintahan Pakubuwono IV (1788-1820).
Terlahir bernama Raden Mas Subadya, Pakubuwono IV atau PB IV merupakan putra Pakubuwono III yang lahir dari rahim permaisuri GKR Kencana, keturunan Sultan Demak.
Naik tahta pada usia muda dan dikenal memiliki wajah tampan, PB IV yang juga cicit Amangkurat IV, sejak muda mendapat julukan Sunan Bagus. PB IV dikenal sebagai raja dan sekaligus santri yang paham ajaran Islam dan berbudi luhur.
Mulai era PB IV, para abdi dalem keraton memanggil putra-putra raja dengan sebutan Gusti atau Den Bagus atau Raden Bagus. Secara keningratan, para putra raja mendapat gelar Gusti Pangeran Haryo (GPH).
Namun dalam sehari-hari para abdi memanggilnya Gusti atau Gus atau Den Bagus. Tradisi ini dalam perjalanannya dibawa oleh para ulama kerajaan atau kiai keraton ke luar untuk menyapa anak-anak laki mereka sendiri.
Panggilan feodal itu kemudian berkembang di lingkungan priyayi di luar keraton, khususnya lingkungan pondok pesantren. Bahkan golongan saudagar juga ikut-ikutan memanggil anak laki-lakinya dengan sebutan Gus.
Dilansir dari buku Baoesastra terbitan 1939, Poerwadarminta, sastrawan Jawa menyebut sebutan Bagus atau Gus dalam bahasa Jawa berarti bocah atau anak lanang (laki-laki) yang memiliki kedudukan tinggi.
Pada masa Kamardikan atau setelah kemerdekaan Indonesia, sebutan Gus resmi dipakai untuk menyebut putra pemimpin atau pengasuh pondok pesantren di Jawa, khususnya di masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sebagaimana ciri khas masyarakat feodal, dengan gelar sosial yang diperoleh itu, mereka (Gus) mendapat dan menikmati perlakuan khusus dari masyarakat lantaran diharapkan jadi penerus ayahnya (kiai).
Pada masyarakat modern saat ini, Gus juga menjadi representatif dari dinasti politik paling tua, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Sebab Gus menerima tahta sebagai penerus orang tuanya (kiai) secara otomatis meski kemampuan dan kapabilitasnya tidak sama atau bahkan lebih rendah dari orang tuanya maupun orang lain. Saat ini penerima julukan Gus juga tidak harus keturunan kyai dari pondok pesantren, karena sudah banyak orang yang menggunakan nama “Gus” sebagai nama depan atau “first name”.
Penulis: Solichan Arif
Editor : Hari Tri Wasono
Trims om ariiff