Bacaini.ID, BANDUNG – Industri film Indonesia mengalami transformasi genre yang belum pernah terjadi dalam kurun tiga tahun terakhir. Bukan karena selera penonton yang berubah, melainkan “tangan tak terlihat” yang mengendalikan apa yang kita tonton: algoritma Netflix.
Penelitian komprehensif oleh Danny Kunto Wibisono dan Irwa Rochimah Zarkasi dari Universitas Al-Azhar Indonesia mengungkap fakta mencengangkan tentang dinamika industri film saat ini.
Pada 2023, film aksi seperti “The Big 4” mendominasi dengan 26,1 juta jam tayang. Setahun kemudian, horor tiba-tiba menguasai 60% dari film Indonesia paling banyak ditonton, menghasilkan lebih dari 50 juta jam tayang. Lalu di 2025, komedi “Cewek Paling Cantik Sedunia” mencetak rekor tertinggi dengan 27 juta jam tayang, melampaui semua film horor.
“Pergeseran ini bukan kebetulan. Algoritma Netflix menciptakan siklus yang memperkuat genre tertentu sambil memarjinalkan yang lain,” kata Danny Wibisono dalam seminar internasional 4th International Conference on Digital Humanities Technoculture and Beyond: Rethinking the Human in a Digital World yang diselenggarakan oleh SPITM ITB dan FSRD ITB, Rabu, 29 Oktober 2025.
Penelitian yang menganalisis 34 film Indonesia selama 30 bulan ini menemukan pola mengkhawatirkan. Film horor bertahan 5-8 minggu di Top 10, jauh lebih lama dari genre lain. Rasio jam tayang terhadap jumlah penonton mencapai 2.0, artinya penonton menyelesaikan film horor, dan mengirim sinyal positif ke algoritma.
Yang lebih mengejutkan, 100% pembuat film yang diwawancara mengaku sadar akan preferensi algoritma dan 66,7% telah menyesuaikan strategi produksi mereka. “Netflix memberi feedback genre mana yang laku di wilayah tertentu. Kami tak bisa mengabaikan ini jika ingin film kami ditonton,” ungkap salah satu filmmaker.
Semua pembuat film menekankan pentingnya “10 menit pertama”, sebuah jendela kritis yang menentukan apakah film mendapat dorongan algoritma atau tenggelam dalam katalog.
Dampaknya? Genre dokumenter dan thriller yang muncul di Top 10 pada 2023-2024 sepenuhnya menghilang di 2025. Fenomena yang peneliti sebut sebagai “spiral keheningan”: berkurangnya visibilitas memicu penurunan konsumsi, yang pada gilirannya mengurangi produksi.
Survei terhadap 30 pengguna Netflix Indonesia mengonfirmasi kekhawatiran ini. Sebanyak 56,7% merasa rekomendasi terus mengarahkan mereka ke genre yang sama. Lebih ironis lagi, hanya 43,3% yang menyebut horor sebagai genre favorit, namun konsumsi aktual menunjukkan horor mendominasi 60% tontonan mereka.
“Algoritma bukan sekadar alat teknis. Ia adalah kekuatan budaya yang membentuk cerita apa yang diceritakan, dilihat, dan dihargai,” kata Danny Wibisono.
Penelitian ini merekomendasikan pendekatan multi-stakeholder: pembuat film harus menyeimbangkan kesadaran algoritma dengan integritas artistik, platform perlu menerapkan perlindungan keberagaman, dan pembuat kebijakan harus menetapkan kuota diversitas budaya.
Pertanyaan sekarang adalah, apakah kita siap membiarkan algoritma menentukan masa depan sinema Indonesia?
Penulis: Hari Tri Wasono





