Siapa bilang punk hanya bikin huru hara. Di Lumajang Jawa Timur, komunitas ini justru berada di garis depan membantu perekonomian rakyat.
Sudah tiga pekan ini komunitas punk membuka pasar gratis di Jalan Wilis, Wringinsari, Klanting, Sukodono Kabupaten Lumajang. Slogan pasarnya cukup keren, ‘Pasar Gratis, Dari Rakyat Untuk Rakyat’.
Minggu, 13 Desember 2020 kemarin, Pasar Gratis kembali digelar. Dagangannya macam-macam, mulai bahan makanan seperti sayuran dan sembako hingga pakaian layak pakai. Semua bahan itu dikumpulkan dari anggota komunitas punk untuk diberikan kepada masyarakat secara gratis. “Kami tak memungut biaya sepeserpun,” kata Linggar, koordinator Pasar Gratis kepada Bacaini.id, Selasa 15 Desember 2020.
Tak hanya menyediakan sembako dan pakaian, mereka juga menyediakan jasa potong rambut, pijat, hingga pembelajaran mewarnai untuk anak-anak. Sebagian anggota komunitas memiliki kemampuan tersebut untuk didermakan kepada masyarakat.
Menurut Linggar, kegiatan ini sudah ketiga kalinya digelar di hari Minggu. Tempatnya dinamis menyesuaikan keberadaan warga miskin yang disasar. Selama tiga kali digelar pasar tersebut ramai didatangi warga yang ingin mendapatkan sembako dan pakaian bekas.
Alhasil pemandangan yang tampak di pasar ini cukup ganjil. Jika biasanya remaja berbaju hitam penuh tatto berada di perempatan, kini berdiri di balik lapak untuk melayani warga. Raut mereka juga ramah dengan daun telinga menganga akibat tindikan. Tak ada kegarangan dari komunitas ini saat berbaur dengan masyarakat kecil.
Linggar menuturkan kegiatan ini adalah murni inisiatif dari kawan-kawannya di komunitas punk Lumajang. Pandemi yang berkepanjangan telah menyentuh mereka untuk berbuat sesuatu membantu masyarakat. “Kami ingin berbagi. Pandemi makin memperlebar ketimpangan dan kesenjangan di masyarakat,” ucap Linggar.
Proses penggalangan donasi dari komunitas ini juga sederhana. Tanpa alur birokrasi dan koordinasi yang berbelit, dalam waktu cepat donasi pakaian dan sembako berdatangan. Mereka tak pelit berbagi rejeki meski keuntungan yang didapat sama sekali tidak ada. Belakangan, donasi tak hanya dari komunitas punk, tetapi juga masyarakat luas yang tergerak.
Menurut Linggar, respon warga Lumajang terhadap gerakan mereka sangat baik.
Untuk memeratakan bantuan, Linggar dan teman-temannya tak pernah menetap di satu tempat. Pasar Gratis ini berpindah-pindah menyesuaikan lokasi yang membutuhkan. Sebelumnya mereka melakukan survei mencari kantung kemiskinan di wilayah Lumajang. Setelah menemukan tempat yang pas, pasar ini baru digelar.
Kepada warga yang datang, Linggar selalu mengingatkan untuk mengambil kebutuhan secukupnya. Sesuai dengan tema ‘Dari Rakyat Untuk Rakyat’, mereka berharap barang-barang ini bisa dinikmati masyarakat secara luas.
Hebatnya lagi, pelaksanaan pasar gratis ini tidak liar. Mereka selalu berkomunikasi dengan karang taruna, tokoh masyarakat setempat, serta pengurus RT/RW sebelum memulai acara. “Alhamdulillah sampai pengadaan ketiga tidak ada kendala dengan perijinan,” kata Linggar.
Tak hanya menjangkau masyarakat miskin, Pasar Gratis ini juga didedikasikan untuk membantu warga yang terdampak letusan Gunung Semeru. Saat bencana itu terjadi, mereka langsung menggalang donasi untuk disumbangkan kepada warga di lereng Semeru. “Tapi belum ada izin dari tim SAR kepada kami untuk mengirimkan logistik ke atas,” kata Linggar.
Kegiatan sosial seperti ini, menurut Linggar, sebenarnya bukan hal baru dan luar biasa bagi komunitas punk. Tingginya solidaritas di antara mereka telah menumbuhkan kepedulian dan jiwa sosial terhadap lingkungan. Tak heran jika kegiatan serupa juga dilakukan komunitas punk di berbagai kota meski sebagian besar dilakukan dengan diam-diam.
Disinggung soal pandangan masyarakat yang kerap melekatkan mereka dengan hal buruk, Linggar tak terlalu risau. Keberadaan anak-anak punk di jalan adalah sebagian kecil dari komunitas punk yang memiliki kehidupan normal. Mereka juga bekerja di kantoran, perusahaan, atau membangun usaha mandiri berbasis kreativitas seperti sablon.
“Kita berupaya untuk mengubah pandangan masyarakat yang menganggap komunitas ini sebagai sekumpulan pemuda yang tidak memiliki tujuan hidup,” tutup Linggar. Bagi mereka, kehormatan bukanlah penampilan, tetapi perilaku dan langkah nyata untuk sesama.
Penulis: Novira Kharisma
Editor: HTW