Bacaini.ID, JAKARTA – Desakan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mengemuka. Efisiensi anggaran yang membengkak hingga Rp 37 triliun menjadi pertimbangan utama usulan itu.
Koalisi besar di parlemen saat ini tengah bersiap mengubah sistem pemilihan langsung yang telah berjalan hampir dua dekade. Konsep ini dinilai hanya menghasilkan pemimpin yang korup dari praktik politik uang.
Alasan utama yang menjadi pemantik diskursus ini adalah biaya. Angka fantastis Rp 37 triliun yang digelontorkan untuk hibah Pilkada 2024 menjadi argumen pamungkas bagi para pendukung perubahan.
Angka ini melonjak drastis dari Rp 7 triliun pada 2015. Presiden terpilih Prabowo Subianto, bersama tokoh-tokoh seperti Muhaimin Iskandar dari PKB dan Bahlil Lahadalia dari Golkar, memandang pemilihan via DPRD sebagai solusi jitu untuk menekan biaya dan mengurangi potensi konflik horizontal di masyarakat.
Di atas kertas, jalan koalisi pendukung pemerintah tampak lapang. Analisis peta politik menunjukkan gabungan kekuatan Golkar, Gerindra, PKB, dan PAN berpotensi menguasai 304 hingga 373 kursi di DPR RI, atau setara 52-64% suara. Angka ini lebih dari cukup untuk merevisi paket undang-undang yang diperlukan.
Namun, PDI-P dan Demokrat dengan total 154 kursi (27%) telah menyatakan penolakan, sementara PKS dan NasDem masih menjadi ‘kingmaker’ yang posisinya ditunggu publik.
Jika kalkulasi politik di senayan berjalan, dinamika di ruang digital berbeda cerita. Analisis big data dari berbagai platform media sosial menangkap 2,69 miliar impresi terkait isu ini. Hasilnya menunjukkan polarisasi yang tajam.
Platform berbasis visual seperti Instagram dan TikTok, di mana konten cenderung lebih sederhana dan cepat viral, menunjukkan sentimen positif yang dominan (75% dan 58%).
Namun di arena yang lebih diskursif seperti X (Twitter) dan Reddit, suara kritis meraung lebih keras, dengan sentimen negatif mencapai 35% hingga 57%.
Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa 65% argumen publik menolak ide kembali ke pemilihan oleh DPRD. Kekhawatiran utama mereka adalah kemunduran demokrasi, hilangnya hak politik, dan potensi suburnya kembali ‘transaksi di ruang gelap’ antar elit partai.
Tantangan terbesar bagi wacana ini bukanlah penolakan publik semata, melainkan benteng hukum yang telah dibangun oleh konstitusi dan para penjaganya.
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah… dipilih secara demokratis.”
Frasa “demokratis” inilah yang menjadi jantung persoalan. Mahkamah Konstitusi (MK), dalam putusannya yang monumental (No. 55/PUU-XVII/2019), telah menafsirkan bahwa pemilihan yang demokratis adalah pemilihan yang dilakukan langsung oleh rakyat. Putusan ini menjadi yurisprudensi dan benteng terakhir bagi kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Setiap upaya untuk mengembalikan pemilihan ke DPRD melalui revisi UU Pilkada hampir pasti akan berakhir di meja hijau MK. Para penentang akan mengajukan uji materi, dan MK akan dihadapkan pada ujian untuk mempertahankan konsistensi tafsirnya atas konstitusi.
Pada akhirnya, pertarungan ini lebih dari sekadar efisiensi anggaran. Ini adalah pertarungan antara kalkulasi politik pragmatis para elit melawan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi.
Hasil dari pertarungan ini akan menentukan arah demokrasi lokal Indonesia di masa depan, dengan Mahkamah Konstitusi berdiri sebagai wasit utamanya.
Penulis: Tim Litbang Bacaini.id





